Jumat, 29 Maret 2013


SUMBER HUKUM
Disusun guna memenuhi salah satu tugas mata kuliah
Pengantar Ilmu Hukum

 



KELOMPOK 6
Sulaiman LaiTsi              11350003
Asrizal                            11350005
M.Athour Rohman          11350047
Ahmad Najib M             11350048



PROGRAM STUDI AL-AHWAL ASY-SYAKHSIYYAH
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2011







KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.
            Puji Syukur kehadirat Ilahi Rabbi–Tuhan Yang Maha Esa, Penagsih dan Penyayang yang telah melimpahkan rahmat dan karunianya kepada penulis sehingga tugas makalah “Sumber Hukum” dapat terselesaikan. Shalwat serta salam atas junjungan Nabi besar Muhammad SAW, sebagai Uswatun khasanah, sosok model yang paling ideal bagi sekalian manusia untuk meraih kesuksesan dunia dan akhirat.
            Dapat terselesaikannya makalah ini tidak lepas dari dukungan, bantuan dan motivasi yang sifatnya spritual dan materil dari banyak pihak. Sehingga penulis mengucapkan terimakasih yang sedalam-dalamnya.
             Demikian yang bisa penulis sampaikan, dengan harapan semoga Allah Swt, Senantiasa membalas segala kebaikan mereka dan makalah ini dapat memberi manfaat sebaik-baiknya. Amien
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Yogyakarta, 23 November 2011,
Penulis






Daftar Isi
Halaman Judul....................................................................................................................    1
Kata Pengantar...................................................................................................................    2
Daftar Isi............................................................................................................................     3
BAB I PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang............................................................................................          4
1.2  Maksud dan Tujuan....................................................................................          4
1.3  Rumusan Masalah.......................................................................................          4
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Undang – Undang...........................................................................................     8
2.2 Perjanjian Internasional..................................................................................       15
2.3 Yurisprudensi.................................................................................................       16
2.4 Doktrin............................................................................................................      17
2.5 Perjanjian........................................................................................................      17
BAB III PENUTUP
            3.1 Kesimpulan.....................................................................................................      20
            3.2 Daftar Pustaka................................................................................................      21




BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Permasalahan pada manusia yang semakin meningkat, angka pelanggaran pada hukum pidana maupun perdata yang sangat tinggi, menimbulkan berbagai akibat hukum. Akibat hukum yang terus berjalan menimbulkan peraturan-peraturan yang baru. Para penegak hukum yang kualahan memutuskan perkara akhirnya menimbulkan sumber – sumber hukum yang baru pula. Maka, agar kita tahu akan sumber – sumber hukum itu, makalah ini memaparkan sumber hukum yang ada di Indonesia. Maka, pertanyaannya adalah: Di manakah hukum itu dapat ditemukan ? Di manakah hakim dapat mencari atau menemukan hukumnya yang dapat digunakan sebagai dasar putusannya ? Bagaimanakah kita dapat mengetahui bahwa suatu peraturan tertentu mempunyai kekuatan mengikat atau berlaku ? Pertanyaan-pertanyaan itu dijawab oleh ajaran tentang sumber hukum.

B. Maksud dan Tujuan
Adapun maksud dan tujuan penulis dalam menyusun makalah ini adalah sebagai tugas makalah Pengantar Ilmu Hukum yang berikan oleh Dosen pembimbing sebagai tugas kelompok pada Fakultas Syariah dan Ilmu Hukum yang juga merupakan tugas wajib bagi mahasiswa umumnya. Serta agar kita dapat mengetahui ilmu hukum tentang sumber hukum.
C. Rumusan Masalah
Berikut rumusan masalah yang penulis dapatkan, yaitu:
1.      Apa Pengertian Sumber Hukum ?
2.      Apa saja Sumber Hukum itu ?
3.      Apa saja ruang lingkup Sumber hukum itu ?
BAB II
PEMBAHASAN
SUMBER HUKUM
Pada hakekatnya yang dimaksud sumber hukum adalah tempat kita dapat menemukan atau menggali hukumnya.
Kata sumber hukum sering digunakan dalam beberapa arti, yaitu:
1.      Sebagai asas hukum, yaitu sesuatu yg merupakan permulaan hukum, misalnya Kehendak Tuhan , Akal Manusia,  Jiwa bangsa,dsb .
2.      Menunjukan hukum terdahulu yang memberi bahan-bahan kepada hukum yang sekarang berlaku : hukum perancis, hukum romawi.
3.      Sebagai sumber berlakunya yang memberi kekuatan berlaku secara formal kepada peraturan hukum (penguasa, masyarakat).
4.      Sebagai sumber dari mana kita dapat mengenal hukum, misalnya : dokumen, undang-undang, lontar, batu bertulis dsb
5.      Sebagai sumber terjadinya hukum: sumber yang menimbulkan hukum.[1]
ALGRA membagi sumber hukum menjadi sumber hukum materiil dan formil.[2]
            Sumber hukum materiil ialah tempat darimana materi hukum itu diambil. Sumber hukum materiil ini merupakan faktor yang membantu pembentukan hukum, misalnya: hubungan sosial, kekuatan politik, situasi sosial ekonomis, tradisi(pandangan keagamaan, kesusilaan), hasil penelitian ilmiah(kriminologi, lalu lintas), perkembangan internasional, keadaan geografis internasional. Ini semuanya merupakan obyek studi penting bagi sosiologi hukum.
            Sumber hukum formil merupakan tempat atau sumber darimana suat peraturan memperoleh kekuatan hukum. Ini berkaitan dengan bentuk atau cara yang menyebabkan peraturan hukum formal berlaku.
            Yang diakui umum sebagai sumber hukum formil ialah  undang – undang, perjanjian antar negara, yurisprudensi, dan kebiasaan.
            Sumber hukum dibedakan menjadi empat, yaitu[3]:
1.      Sumber hukum dalam arti historis, yaitu tempat kita dapat menemukan hukumnya dalam sejarah atau dari segi historis. Sumber hukum dalam arti historis ini dibagi menjadi dua, yaitu:
a.       Sumber hukum yang merupakan tempat dapat diketemukan atau dikenal hukum secara historis: dokumen-dokumen kuno, lontar, dsb.
b.      Sumber hukum yang merupakan tempat pembentuk undang–undang mengambil bahannya.
2.      Sumber hukum dalam arti sosiologis(teleologis) merupakan faktor – faktor yang menentukan isi hukum positif, seperti keadaan agama, pandangan agama,dsb.
3.      Sumber hukum dalam arti filosofis yang dibagi dua, yaitu:
a.       Sumber isi hukum, disini dinyatakan isi hukum itu asalnya darimana. Ada tiga pandangan yang mencoba menjawab pertanyaan ini, yaitu:
-          Pandangan theocratis; menurutnya isi hukum berasal dari tuhan.
-          Pandangan hukum kodrat; menurut pandangan ini isi hukum berasal dari manusia.
-          Pandangan mazhab historis; menurut pandangan ini isi hukum berasal dari kesadaran hukum.
b.      Sumber kekuatan mengikat dari hukum: mengapa hukum mempunyai kekuatan mengikat, mengapa kita tunduk pada hukum.
4.      Sumber hukum dalam arti formil; yang dimaksudkan adalah sumber dilihat dari cara terjadinya hukum positif merupakan fakta yang menimbulkan hukum yang berlaku yang mengikat hakim dan penduduk. Isinya timbul dari kesadaran rakyat. Agar dapat berupa peraturan tentang tingkah laku harus dituangkan dalam bentuk undang – undang, kebiasaan dan traktat atau perjanjian antar negara.

Di dalam bukunya Achmad Sanusi membagi sumber hukum menjadi dua kelompok, yaitu[4]:
1.      Sumber hukum normal, yang dibaginya lebih lanjut menjadi:
a.       Sumber hukum normal yang langsung atas pengakuan undang – undang, yaitu:
-          Undang – undang
-          Perjanjian antar negara
-          Kebiasaan
b.      Sumber hukum normal yang tidak langsung atas pengakuan undang – undang, yaitu:
-          Perjanjian
-          Doktrin
-          Yurisprudensi
2.      Sumber hukum abnormal, yaitu:
a.       Proklamasi
b.      Revolusi
c.       Coup d’etat
Menurut Tap MPR no. III/MPR/2000 sumber hukum dasar nasional adalah pancasila, sedangkan tata urutan perundang – undangan adalah sebagai berikut:
1.      Undang – undang dasar 1945, yang merupakan sumber dasar tertulis negara Republik indonesia dan memuat dasar dan garis besar hukum dalam penyelenggaraan negara. Undang – undang dasar 1945 yang semula dianggap kramat dan tak dapat diubah, sejak 19 oktober 1999 telah mengalami 4 kali amandemen. Undang-undang Dasar adalah produk hukum, dan sebagai hukum , yang fungsinya adalah melindungi kepentingan manusia maupun masyarakat yang selalu dinamis harus berkembang mengikuti perkembangan (kepentingan) masyarakat, sehingga tidak boleh statis. Setelah amandemen yang keempat jumlah bab tetap 16. Jumlah pasal yang lama dipertahankan, yaitu 37, yang sesungguhnya lebih, karena ditambahkan huruf A,B,C dan sebagainya pada pasal – pasal yang bersangkutan.
2.      Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat.
3.      Undang – undang yang dibuat oleh DPR bersama Presiden untuk melaksanakan UUD 1945 serta ketetapan MPR.
4.      Peraturan pemerintah pengganti UU yang dibuat oleh presiden dalam hal ikhwal kegentingan dengan ketentuan sebagai berikut:
a.       Peraturan pemerintah pengganti UU harus diajukan ke DPR dalam persidangan yang berikut,
b.      DPR dapat menerima atau menolak dengan tidak mengadakan perubahan,
c.       Jika ditolak maka harus dicabut.
5.      Peraturan pemerintah dibuat oleh pemerintah untuk melaksanakan perintah undang – undang.
6.      Keputusan presiden bersifat mengatur dan dibuat oleh presiden untuk menjalankan fungsi dan tugasnya berupa pengaturan pelaksanaan administrasi negara dan pemerintah.
7.      Peraturan daerah merupakan peraturan untuk melaksanakan aturan hukum diatasnya dan menampung kondisi khusus dari daerah yang bersangkutan.
a.       Peraturan daerah provinsi dibuat oleh DPR provinsi dengan Gubernur.
b.      Peraturan daerah kabupaten/kota dibuat oleh DPR Kabupaten/kota bersama Bupati/walikota.
c.       Peraturan desa atau setingkat dibuat oleh badan perwakilan desa atau yang setingkat, sedangkan tata cara pembuatan peraturan desa atau yang setingkat diatur oleh peraturan daerah kabupaten/kota yang bersangkutan.

è Undang – undang
Dalam artii materiil yang dinamakan undang – undang merupakan keputusan atau ketetapan penguasa, yang dilihat dari isinya disebut undang – undang dan mengikat setiap orang secara umum.
Undang – undang dalam arti formil ialah keputusan penguasa yang dilihat dari bentuk dan cara terjadinya disebut undang – undang. Undang – undang itu bersifat universal atau umum karena mengikat setiap orang dan merupakan produk legislatif. Undang – undang juga disebut sebagai hukum, karena berisi kaedah – kaedah hukum untuk melindungi kepentingan manusia. Maka, agar kepentingan setiap manusia itu dapat terlindungi maka undang – undang harus diketahui oleh setiap orang. agar dapat diketahui setiap orang , maka undang – undang harus diundangkan atau diumumkan dengan memuatnya di dalam lembaran negara(LN). Di indonesia yang disebut undang – undang adalah peraturan yang dibuat oleh presiden dengan persetujuan DPR[5].
è Pengundangan
Tentang cara mengundangkan dan berlakunya undang-undang semula diatur dalam Peraturan Pemerintah no.1 tahun 1945 (Berita Republik Indonesia tahun I no.1, halaman 1 kolom 1) tentang cara mengundangkan dan berlakunya undang – undang dan peraturan. Menurut peraturan tersebut segala undang – undang dan peraturan presiden diumumkan oleh presiden dan ditandatangani oleh sekertaris negara.
            Dalam konstitusi RIS ada ketentuan tentang pengudangan, yaitu yang dimuat dalam pasal 143 KRIS yang berbunyi:
1.      Undang – undang federal mengadakan aturan – aturan tentang mengeluarkan, mengumumkan dan mulai berlakunya undang – undang federal dan peraturan pemerintah.
2.      Pengumuman terjadi dalam bentuk menurut undang – undang adalah syarat tunggal untuk kekuatan mengikat.
Sebagai peraturan pelaksanaan pasal 143 KRIS tersebut adalah UUDar no.1 tahun 1949 dan kemudian UUDar no.2 tahun 1950 (kemudian dengan beberapa perubahan menjadi UU no.2 tahun 1950, LN. 32), yang mulai berlaku pada tanggal 19 mei 1950 yaitu tentang UU L.N dan Pengumuman. Istilah pengundangan baru dipakai dalam UUDS[6]. Penyelenggaraan lembaran negara dan berita negara diserahkan kepada Menteri Kehakiman. Lembaran negara baru ada sesudah 17 agustus 1950[7].
Di dalam Negara Kesatuan di bawah UUDS Undang-undang no.2 tahun 1950 tetap berlaku.
            Setelah kembalinya UUD 45, Peraturan Pemerintah no. 1 tahun 1945 tidah berlaku lagi, karena Komite Nasional Indonesia tidak ada lagi sehingga tidak dapat diumumkan pada papan pengumuman KNI.
            Di dalam praktek pengundangan peraturan perundang-undangan dilakukan cara seberapa dapat mengikuti undang-undang no. 2 tahun 1950 dengan beberapa perubahan secara diam-diam, yaitu pengundangan dilakukan dalam lembaran negara oleh Sekretaris Negara dan yang menandatangani oleh Presiden.
            Di samping lembaran negara yang nomor urutnya setiap tahun mulai dengan nomor satu dan yang memuat undang-undang serta peraturan pemerintah, masih dikenal juga tambahan lembaran negara (TLN) yang berisi penjelasan undang-undang dan nomor urutnya beruntun tanpa menyebut tahun dikeluarkannya. Juga masih dikenal berita negara yang diterbitkan oleh Departemen Kehakiman sebagai tempat pengumuman-pengumuman berita resmi seperti pendirian PT., anggaran dasar perseroan, yayasan dsb
            Di dalam sistem perundang-undangan dikenal adanya hierarchie (kewerdaan atau urutan). Ada peraturan perundang-undangan yang mempunyai tingkatan yang tinggi, ada yang mempunyai tingkatan yang tinggi,ada yang mempunayi tingakatan yang lebih rendah (UUD,UU,PP)[8]  . Perundang-undangan suatu negara merupakan suatu sistem yang tidak menghendaki atau membenarkan atau membiarkan adanya pertentangan atau konflik di dalamnya. Peratuaran perundang-undangan yang tingkatnya lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan yang lebih tinggi yang mengatur hal yang sama. Ini merupakan asas yang dikenal dengan adagium yang berbunyi lex superior deregat legi inferori.
            Tata urutan Peraturan perundang-undangan kita diatur dalam TAP MPRS no. XX/MPRS/1966 seperti berikut[9]:
Ø  UUD  45 adalah perturan perundang-undangan yang tertinggi, yang pelaksanaannya dengan ketetapan MPR, undang-undang dan keputusan presiden
Ø  Setingkat lebih rendah adalah ketetapan MPR. Menurut TAP MPR no. I/MPR/1973 tentang tata tertib MPR, bentuk keputusan MPR ada dua macam, yaitu TAP MPR yang memuat garis-garis besar dalam bidang legislatif yang dilaksanakan dengan undang-undang dan TAP MPR yang memuat garis-garis  besar dalam bidang eksekutif yang dilaksankan dengan keputusan presiden
Ø  Kemudian dikenal undang-undang untuk melaksanakan UUD atau TAP MPR. Dalam kepentingan yang memaksa Presiden berhak menetapkan peraturan-peraturan sebagai pengganti undang-undang. Oeraturan ini harus mendapatkan persetujuan DPR.
Ø  Dibawah undang-undang ada peraturan pemerintah yang memuat aturan-aturan umum untuk melaksanakan undang-undang
Ø  Setingkat lebih rendah lagi adalah keputusan presiden. Ini merupakan keputusan yang lebih khusus (einmalig) untuk melaksanakan ketentuan UUD, TAP MPR dalam bidang eksekutif atau peraturan pemerintah
Ø  Akhirnya adalah peraturan-peraturan pelaksanaan lainnya, yaitu peraturan menteri dan intruksi menteri.
Perlu diketahui bahwa sebelum TAP MPRS no. XX/MPRS/1966 berdasarkan Surat Presiden tanggal 20 Agustus 1959 no. 2262/Hk/59 dikenal tata urutan peraturan perundang-undangan lain, yaitu:
1.      Undang-undang
2.      Peraturan pemerintah
3.      Peraturan pemerintah pengganti undang-undang.
Ø  Penetapan presiden untuk melaksanakan Dekrit Presiden tanggal 5 juli 1959
Ø  Peraturan presiden didasarkan pada pasal 4 ayat 1 UUD 45 untuk melaksanakan penetapan presiden
Ø  Peraturan pemerintah untuk melaksakan peraturan presiden (ini lain dari pada peraturan pemerintah ex. Pasal 5 ayat 2 UUD 45)
Ø  Keputusan presiden untuk melaksanakan pengangkatan
Ø  Peraturan menteri atau keputusan menteri.
Telah dikemukakan bahwa karena adanya heirarchie dalam perundang-undangan maka akan berlaku asas lex superior derogat legi inferiori kalau terjadi konflik antara peraturan perundang-undangan yang sifatnya umum dengan yang sifatnya khusus, sedang kudua-duanya mengatur materi yang sama. Kalau terjadi demikian, maka peraturan yang khusus akan melumpuhkan peraturan yang umum sifatnya atau peraturan yang khususlah yang harus didahulukan: lex specialis derogat legi priori.
è Kekuatan Berlakunya Undang-undang
Kekuatan berlakunya undang-undang ini perlu dibedakan dari kekuatan mengikatnya undang-undang. Kekuatan berlakunya undang-undang menyangkut berlakunya undang-undang secara operasional.
Undang-undang mempunyai persyaratan untuk dapat berlaku atau untuk mempunyai kekuatan berlaku, yaitu kekuatan berlaku yuridis, sosiologis dan filosofis.
a.      Kekuatan berlaku  yuridis (Juristische Geitung)
Undang-undang mempunyai kekuatan berlaku yuridis apabila persyaratan formal terbentuknya undang-undang itu telah terpenuhi.
Menurut HANS KELSEN[10]  kaedah hukum mempunyai kekuatan berlaku apabila penetapannya didasarkan atas kaedah yang lebih tinggi tingkatannya. Suatu kaedah hukum merupakan sistem kaedah secara hierarchis. Di dalam Grundnorm (norma dasar) terdapat dasar berlakunya semua kaedah yang berasal dari satu tata hukum.
b.      Kekuatan berlaku sosiologis (Soziologische Geitung)
Disini intinya adalah efektivitas atau hasil guna kaedah hukum di dalm kehidupan bersama. Yang dimaksudkan adalah bahwa berlakunya atau diterimanya hukum di dalam masyarakat itu lepas dari kenyataan apakah peraturan hukum itu terbentuk menurut persyaratan formal atau tidak. Jadi disini berlakunya hukum merupakan kenyataan didalam masyarakat.
Kekuatan berlakunya hukum di dalam masyarakat ini ada dua macam:
1.      Menurut teori kekuatan (Machtstheorie) hukum mempunyai kekuatan berlaku sosiologis apabila dipaksakan berlakunya oleh penguasa, terlepas dari diterima ataupun tidak oleh warga masyarakat
2.      Menurut teori pengakuan ( Anerkennungstheorie) hukum mempunyai kekuatan berlaku sosiologis apabila diterima dan diakui oleh warga masyarakat

c.       Kekuatan berlaku filosofis (Filosofische Geltung)
Hukum mempunyai kekuatan berlaku filosofis apabila kaedah hukum tersebut sesuai dengan cita-cita hukum (Rechtsidee) sebagai nilai positif yang tertinggi (uberpositiven Werte: Pancasila, masyarakat adil dan makmur).
Undang-undang no. 19 tahun 1948 adalah suatu contoh undang-undang yang hanya mempunyai kekuatan berlaku yuridis, karena telah memenuhi persyaratan formal terbentuknya, tetapi belum prnah berlaku secara operasional: walaupun undang-undang tersebut sudah diundangkan, tetapi dinyatakn mulai berlaku pada hari yang akan ditetapkan oleh Menteri Kehakiman. Undang-undang no. 2 tahun 1960 tentqng bagi hasil telah mempunyai kekuatan berlaku yuridis, tetapi di dalam praktek tidak sepenuhnya berlaku.
Agar berfungsi, maka keadah hukum harus memenuhi ketiga unsur tersebut : harus mempunyai kekuatan berlaku yuridis, sosiologis dan filosofis sekaligus.
è Ruang Lingkup Berlakunya Undang-undang Menurut Waktu
Pada asasnya undang-undang hanya mengikat peristiwa yang kemudian terjadi setelah undang-undang itu diundangkan dan tidak berlaku surut. Telah dikemukakan bahwa undang-undang itu mengatur perilaku atau peristiwa. Peristiwa atau peristiwa yang diatur oleh undang-undang ialah yang terjadi sesudah undang-undang diundangkan dan tidak sebaliknya. Sesudah selayaknya kiranya ketentuan ini. Lagi pula kalau terjadi sebaliknya kepastian hukum tidak akan terjamin.
Asas bahwa undang-undang tidak berlaku surut: undang-undang hanyamengikat untuk waktu yang akan datang dan tidak mempunyai kekuatan berlaku surut.[11]
è Saat Dimulai Berlakunya dan Berakhirnya Undang-undang
Karena pengundangan undang-undang mempunyai kekuatan mengikat, mengikat setiap orang untuk mengakui eksistensinya undang-undang.
Kalau tidak ditentukan tanggalnya, maka undang-undang itu mulai berlaku pada hari ke 30 sesudah hari diundangkan[12]  .
Mulai berlakunya undang-undang dapat juga ditentukan dalam undang-undang itu sendiri, yaitu:
a.       Pada saat diundangkan (misalnya UU no.2 tahun 1951 tentang berlakunya Undang-undang Kecelakaan)[13].
b.      Pada tanggal tertentu (misalnya PP no. 12 tahun 1954 tentang istirahat buruh)[14].

è Ruang Lingkup Berlakunya Undang-undang Menurut Tempat dan Orang
Mengenai ruang lingkup berlakunya undang-undang menurut tempat dan orang ada beberapa kemungkinan.
1.      Undang-undang berlaku bagi setiap orang dalam wilayah negara tanpa membedakan kewarganegaraan orang yang ada dalam wilayah negara tersebut. Jadi berlakunya undang-undang dibatasi oleh wilayah. Ini disebut asas teritorial. Pasal 2 KUHP berbunyi : Aturan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang yang melakukan perbuatan pidana di dalam wilayah Indonesia[15].
Sedangkan wilayah Indonesia meliputi seluruh daratan dan perairan yang merupakan wawasan nusantara atau seluruh wilayah nasional indonesia yang diatur dalam undang – undang tertentu. Adapun undang – undang yang mengatur tentang wilayah indonesia adalah UU no.4/Prp tahun 1960, TAP MPR no.II/MPR/1983 tentang GBHN (bab II E jo. TAP MPR no. IV/MPR/1973, TAP MPR no. IV/MPR/1978), UU no. 5 tahun 1983 tentang ZEE, UU no.17 tahun 1985, UU no. 1 tahun 1973.
2.      Undang-undang berlaku bagi orang yamg ada, baik di dalam suatu wilayah negara maupun di luarnya. Disini undang-undang mengikuti orng dan tidak terbatas pada wilayah negara saja. Ini yang disebut asas personal. Aturan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi warga negara yang berada di luar Indonesia melakukan kejahatan yang disebut dalam pasal 5KUHP. Di sini undang-undang berlaku bagi mereka yang melakukan perbuatan pidana di luar negeri asal perbuatan itu ditempat kejadian diancam dengan pidana dan di Indonesia merupakan kejahatan juga. Misalnya: orang Indonesia yang melakukan pembunuhan di Amerika Serikat dan kemudia melarikan diri ke Indonesia dapat di tuntut, karena pembunuhan di Amerika Serikat merupakan perbuatan pidana dan di Indonesiapun diancam dengan pidana.
3.      Undang-undang berlaku bagi setiap orang yang di luar indonesia melakukan kejahatan tertentu. Berlakunya undang-undang di sini tidak trbatas pada warga negara indonesia saja, tetapi juga tidak terbatas pada wilayah. Ini disebut asas universal. Misalnya orang asing yang di luar indonesia memalsukan mata uang Indonesia tunduk pada aturan pidana dalam perundang-undangan Indonesia.

è Perjanjian Internasional
Perjanjian internasional atau treaty merupakan sumber hukum dalam arti formal, karena harus memenuhi persyaratan formal tertentu untuk dapat dinamakan perjanjian internasional. Pasal 11 UUD menentukan: presiden dengan persetujuan DPR menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain. Perjanjian dengan negara lain inilah yang dimaksud dengan perjanjian internasional.
Mengenai pembuatan perjanjian internasional ini ada surat presiden kepada ketua DPR tanggal 22 agustus 1960 no. 2826/HK/60 tentang pembuatan perjanjian dengan negara lain, yang tembusannya dikirim kepada menteri luar negeri, menteri kehakiman, dan menteri penghubung DPR atau MPR.
Menurut surat presiden no. 2826/HK/60 tersebut yang dimaksud dengan perjanjian menurut pasal 11 UUD hanyalah perjanjian yang terpenting saja, yaitu yang mengandung soal – soal politik dan yang lazimnya dikehendaki berbentuk traktat atau treaty.
Treaty adalah perjanjian yang harus disampaikan kepada DPR untuk mendapat persetujuan sebelum disahkan atau diratifisir oleh presiden ialah perjanjian – perjanjian yang lazimnya berbentuk treaty yang mengandung materi sebagai berikut:
a.       soal-soal politik atau soal-soal yang dapat mempengaruhi haluan politik luar negeri seperti perjanjian persahabatan,perjanjian persekutuan,perjanjian tentang perbahan wilayah.
b.      ikatan-ikatan yang sedemikian rupa yang mempengaruhi haluan politik luar negeri(perjanjian kerjasama ekonomi dan tehnis atau pinjaman uang)
c.       soal-soal yang menurut UUD atau sistem perundang-undangan kita harus diatur dengan undang-undang: kewarganegaraan, soal kehakiman.

è Yurisprudensi
Disamping undang-undang,kebiasaan dan perjanjian international masih ada sumber hukum lain, yaituYurisprudensi, doktrin, dan perjanjian yang oleh van APELDOORN disebut sebagai faktor-faktor yang membantu pembentukan hukum. LEMAIRE menyebut yurisprudensi, ilmu hukum(doktrin) dan kesadaran hukum sebagai determinan pembentukan hukum.
Yurisprudensi berarti peradilan pada umumnya (judicature rechtspraak), yaitu pelaksanaan hukum dalam hal konkrit terjadi tuntutan hak yang dijalankan oleh suatu badan yang berdiri sendiri dan diadakan oleh negara serta bebas dari pengaruh apa atau siapapun dengan cara memberikan putusan yang bersifat mengikat dan berwibawa[16].
Di samping itu yurisprudensi dapat pula berarti ajaran hukum atau doktrin yang di muat dalam putusan
Dalam uraian ini yang di maksud yurisprudensi adalah putusan pengadilan.
Yurisprudensi atau putusan pengadilan merupakan produk yudikatif, yang berisi kaedah atau peraturan hukum yang mengikat pihak-pihak yang bersangkutan atau terhukum. Jadi putusan pengadilan hanya mengikat orang- orang tertentu saja dan tidak mengikat setiap orang secara umum seperti undang-undang. Putusan pengadilan adalah hukumsejak dijatuhkan sampai dilaksanakan.
            Bedanya dengan undang-undang ialah bahwa kalau putusan pengadilan itu berisi peraturan-peraturan yang bersifat konkrit karena mengikat orang-orang tertentu saja, maka undang-undang berisi peraturan-peraturan yang bersifat abstrak atau umum karena mengikat setiap orang.
            Van APELDORN berpendapat bahwa di Negeri Belanda peradilan tidak  merupakan sumber hukum formil, karena hakim tidak terikat pada putusan hakimyang secara hierarchis lebih tinggi tingkatanya[17]. Meskipun demikian menurut pendapatnya peradilan membantu dalam pembentukan hukum
            Mengingat bahwa yurisprudensi yang sudah menjadi tetap(yurisprudensi konstan), yaitu putusan yang selalu kembali itu menjadi normatif, maka dapatlah dikatakan bahwa yurisprudensi itu merupakan sumber hukum formil[18]. Formil karena  terjadi dengan cara tertentu, yaitu oleh hakim dalam sidang pengadilan.
            Pada umumnya dikenal adanya dua sistem peradilan, yaitu sistem Kontinental dan sistem Anglo-Saks.
            Dalam sistem Kontinental hakimtidak terikat pada putusan pengadilan yang pernah mdijatuhkan mengenai perkara yang serupa.Dalam sistem anglo-Saks hakim terikat pada”precedent” atau putusan mengenai perkara yang serupa dengan yang akan di putus.
            Sejak abad ke 19 kedua sistem tersebut saling bertemu. Dalam zaman modern  sekarang ini batasa yang tajam antara kedua sistem tersebut dapat dikatakan tidak ada.
è Doktrin
            Undang-undang, perjanjian internasional dan yurisprudensi adalah sumber hukum. Tidak mustahil ketiga sumber hukum itu tidak dapat memberi semua jawaban  mengenai hukumnya, maka hukumnya didapat  dari pendapat-pendapat para sarjana hukum atau ilmu hukum.
            Pendapat para sarjana hukum yang merupakan doktrin adalah sumber hukum, tempat hakimdapat menemukan hukumnya. Ilmu hukum adalah sumber hukum, tetepi ilmu hukum bukanlah hukum, karena  tidak mempunyai kekuatan mengikat sebagai hukum sebagai undang-undang
è Perjanjian
Menurut van APELDORN perjanjian disebut faktor yang membantu pembentukan hukum, sedangkan menurut LEMAIRE perjanjian adalah determinan hukum.
Menurut teori klasik yang dimaksud dengan perjanjian adalah satu perbuatan hukum yang bersisi dua yang didasarkan atas kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum. Adapun yang dimaksud dengan satu perbuatan hukumyang bersisi dua tidak lain adalah satu perbuatan hukum yang meliputi penawaran(offer,aanbod)dari pihak yang satu dan penerimaan(acceptance,aanvaarding) dari pihak yang lain.

à Unsur Unsur Perjanjian
1.      Unsur yang mutlak harus ada bagi terjadinya perjanjian yang disebut essentiala. Unsur ini mutlak harus ada agar perjanjian itu sah, merupakan syarat sahnya perjanjian. Syarat-syarat adanya atau sahnya perjanjian adalah adanya kata sepakat atau persesuaian kehendak, kecakapan para pihak, obyek tertentu dan kausa atau dasar yang halal.
2.      Unsur yang lazimnya melekat pada perjanjian, yaitu unsur yang tanpa diperjanjikan secara khusus dalam perjanjian secara diam-diam dengan sendirinya dianggap ada dalam perjanjian karena sudah merupakan pembawaan atau melekat pada perjanjian.
3.      Unsur yang harus dimuat atau disebut secara tegas dalam perjanjian yang dinamakan accidentalia. Unsur ini harus secara tegas diperjanjikan, misalnya mengenai tempat tinggal yang harus dipilih.
Telah dikemukakan diatas bahwa terjadinya perjanjian itu karena adanya konsensus. Jadi perjanjian itu pada umumnya tidak dibuat secara formal tetapi konsensual . Inilah yang disebut asas konsensualisme, salah satu asa hukum perjanjian . Dengan adanya persesuaian kehendak telah terjadi perjanjian.
Asas hukum perjanjian yang kedua ialah bahwa kedua belah pihak terikat oleh kesepakatan dalam perjanjian yang mereka buat.
Asas kebebasan berkontrak merupakan asas hukum perjanjian yang ketiga pada dasarnya setiap orang bebas untuk mengadakan dan menentukan isi perjanjian. Kalau asas konsualisme itu berhubungan dengan lahirnya perjanjian, asas kekuatan mengikat berhubungan dengan akibat perjanjian, maka asas kebebasan berkontrak itu berhubungan dengan isi perjanjian.
Jika undang-undang itu terjadi karena kehendak satu pihak, yaitu pembentuk undang-undang dari mengikat setiap orang, maka terjadinya perjanjian itu karena kehendak dua pihak dan hanya mengikat kedua belah pihak itu saja.
Pada hakekatnya perjanjian seperti yang ternyata dari uraian diatas adalah hukum dan sekaligus juga sumber hukum.
è Kesadaran Hukum
Menurut PAUL SCHOLTEN kesadaran hukum merupakan suatu kategori, yaitu pengertian yang aprioristisumum tertentu dalam hidup kejiwaan kita  yang menyebabkan kita dapat memisahkan antara hukum dan kebatilan(tidak hukum), yang tidak ubahnya dengan benar  dan tidak benar baik dan buruk[19]
Kalau keadaan berjalan normal menurut hukum, tidak banyak terjadi pelanggaran atau kejahatan, orang tidak akan memasalahkan tentang kesadaran hukum. Mungkin orang berpendapat bahwa sudah selayaknya hukum harus dilaksanakan ,sudah semestinya bahwa setiap orang melakukan kewajiban hukum dan tidak melanggar hukum. Tetapi kalau banyak terjadi perampokan, pembunuhan, korupsi dan pelanggaran- pelanggaran hukum lainntang ada tidaknya atau tinggi rendahnya kesadaran hukum. Oleh karena itu kesadaran hukum terutama adalah kesadaran tentang kebatilan atau kesadaran tentang “tidak hukum”.








BAB III
PENUTUP

è Kesimpulan
Hukum merupakan sesuatu yang tak dapat dilepaskan dari masyarakat. Hukum mengatur tatanan masyarakat yang ada. Sehingga untuk mewujudkan tatanan masyarakat yang nyaman perlu sumber hukum yang matang. Sumber hukum inilah yang dijadikan mereka untuk memutuskan suatu kasus baik pidana maupun perdata yang ada di masyarakat.  Sumber hukum tersebut mencakup Undang – undang, perjanjian internasional, yurisprudensi, doktrin, perjanjian, dll.






















Daftar Pustaka
Mertokusumo, Sudikno.2005. Mengenal Hukum Suatu Pengantar. Yogyakarta: Liberty Yogyakarta.
Subekti; Tjitrosudibio.2008.Kitab Undang – undang HUKUM PERDATA. Jakarta: PT. Pradnya Paramita.
Apeldoorn, Van. 2001. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: PT Pradya Paramita.
Pudjosewojo, Kusumadi.1961. Pedoman Peladjaran Tata Hukum Indonesia. Jogjakarta: PT. Penerbitan Universitas.
Starke, J.G. 1997. Pengantar Hukum Internasional 2. Jakarta: Sinar Grafika.
Pudjosewono, Kusumadi. 1997. Pedoman Pelajaran Tata Hukum Indonesia. Yogyakarta: Sinar Grafika.








[1].Zevenbergen.op.cit.hal 152
[2] Rechtsaanvang(1975) hal 74
[3] Van apeldoorn.op.cit.hal.58.dst
[4] Pengantar Ilmu hukum dan Pengantar tata Hukum Indonesia, hal 34.
[5] Pasal 5 ayat 1 UUD 1945
[6] Pasal 100
[7] Kusumadi Pudjosewojo, Pedoman Pelajaran Tata Hukum Indonesia, hal. 20.
[8] Gronwet, Wet, A.M.B
[9] Prof. DR. Sudikno Mertokusumo. SH. mengenal hukum suatu pengantar, hal.92
[10] Rechtswetenschap en Gerechtigheid, terjemahan Mr. Ir. M.M van praag. hal 13
[11] KUHP BW,Pasal 2AB
[12] KUHP BW,Pasal 13 UU no.2 tahun 1950, L.N. 32
[13] KUHP BW,Pasal 13 UU no.2 tahun 1951
[14] KUHP BW ,PP no. 12 tahun 1954
[15] Lihat juga pasal 3 KUHP)
[16] Sudikno Mertokusumo.Sejarah Peradilan, hal.175
[17] Op.cit. hal. 123
[18] Algra. Rechtsingang, hal.93
[19] Scholten,op.cit. hal.168

Tidak ada komentar:

Posting Komentar