ZAKAT FITRAH
Makalah
ini guna memenuhi tugas mata kuliah:
Hukum
Zakat
Disusun
Oleh:
Ahmad
Mun’im
Nim:
11350010
Prodi:
As-a
Dosen
Pengampu:
Abd. Madjid
As
AL-AHWAL AS-SAHSIYAH
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGRI SUNAN KALI JAGA
YOGYAKARTA
2013
KATA PENGANTAR
Puji dan
syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Y.M.E atas limpahan rahmat dan
karunia-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang
berjudul “Zakat Fitrah” ini dengan lancar. Penulisan makalah ini
bertujuan untuk memenuhi salah satu tugas yang diberikan oleh dosen pengampu
matakuliah Hukum Zakat Bpk. Abd. Majid AS
Makalah
ini ditulis dari hasil penyusunan data-data sekunder yang penulis peroleh dari
buku panduan yang berkaitan dengan Zakat Fitrah , tak lupa penyusun ucapkan
terima kasih kepada pengajar matakuliah Hukum Zakat, atas bimbingan dan arahan
dalam penulisan makalah ini. Juga kepada rekan-rekan mahasiswa yang telah
mendukung sehingga dapat diselesaikannya makalah ini.
Penulis
harap, dengan membaca makalah ini dapat memberi manfaat bagi kita semua, dalam
hal ini dapat menambah wawasan kita mengenai Zakat Fitrah suatu hukum syar’i,
khususnya bagi penulis. Memang makalah ini masih jauh dari sempurna, maka
penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca demi perbaikan menuju arah
yang lebih baik
Yogyakarta,
27 March, 2013
Penyusun
DAFTAR ISI
Halaman
COVER
.................................................................................................................... i
KATA
PENGANTAR ............................................................................................. 1
DAFTAR
ISI ............................................................................................................ 2
BAB
I PENDAHULUAN....................................................................................... 3
A. Latar Belakang Permasalahn................................................................................ 3
B. Rumusan Masalah ............................................................................................... 4
C. Tujuan 4
BAB
II PEMBAHASAN ........................................................................................ 5
A. Pengertian Zakat Fitrah........................................................................................ 5
B. Hokum Zakat Fitrah ............................................................................................ 6
C. Hikmah di
Syariatkannya Zakat Fitrah................................................................ 7
D. Syarat Wajib
Zakat Fitrah ................................................................................... 7
E. Kadar Dan Bentuk
Zakat Fitrah ........................................................................ 8
F. Mustahik Zakat Fitrah.......................................................................................... 8
G. Waktu Pelaksanaan
Zakat Fitrah......................................................................... 12
BAB III KESIMPULAN......................................................................................... 14
Daftar pustaka ..................................................................................................... 15
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
خذ من أموالهم صدقة تطهرهم وتزكيهم بها وصل عليهم إن صلاتك سكن لهم
والله سميع عليم
Artinya:
Ambillah
zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan
mensucikan mereka, dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu
(menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui.
(At-Taubah{9}:103)
Dalam ayat di atas
dapat di ambil suatu hokum syar’I tentang masalah zakat, di mana seorang muslim
yang mempunyai harta lebih maka wajib di zakati. Dalam permasalahan zakat itu
ada beberapa macam zakat, yaitu zakat mal, zakat fitrah dan shadaqah tahawwu’,
dan semua ada tata cara pengeluaran tersendiri dan itupun sangat berbeda
diantara macam-macam di atas. Dalam hal ini penulis akan lebiih sepisifik
membahas zakat yang berupa zakat fitrah atau zakat badan dimana dalam
permasalahan zakat fitrah ini sangatlah berbeda dengan zakat-zakat harta yang
lainnya, baik itu dari syarat dan rukun, kadar nisab dan haulnya, dan muzakkinya. Oleh karena itu penulis akan
berupanya membahas secara detail sesuai kemampuan penulis dalam mengkaji
tentang Hukum Zakat Fitrah. Adapaun penjelasannya akan di jelaskan pada
pembahasan yang di tulis di bawah ini.
B. Rumusan
Masalah
a. Apa yang di maksud dengan zakat fitrah?
b. Bagaimana
hokum mengeluarkan Zakat Fitrah?
c. Apa di Balik
hikmah di syari’atkannya Zakat Fitrah?
d. Apakah sama
tata cara pengeluaran zakat fitrah dengan zakat lainnya?
e. Siapa
sajakah yang wajib mengeluarkan Zakat Fitrah?
C.
Tujuan Penulisan
a.
Uuntuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Zakat.
b.
Untuk mengetahui pengertian, hokum dan tata cara Zakat Fitrah.
c.
Untuk lebih memahami tentang kajian Zakat Fitrah.
d.
Untuk menambah wawasan dalam ilmu pengetuhaun agama.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Zakat Fitrah
Badan zakat yang disebut juga dengan zakat fitrah merupakan ciri
khas umat islam. Ia disebut zakat fitrah karena diwaibkan atas setiap jiwa.
Ibnu Qutaibah mengatakan: yang dimaksud dengan zakat fitrah adalah zakat jiwa
yang diambil dari kata “fitrah” yang merupakan asal kejadian.
Dalam penegertian lain zakatul fitri atau yang lebih popular dalam
masyarakat dengan istilah zakat fitrah adalah zakat yang harus dikeluarkan oleh
setiap muslim baik laki-laki ataupun perempuan, besar ataupun kecil, tua
ataupun muda, kaya ataupun miskin di bulan ramadhan sampai menjelang sholat
idul fitri.[1]
Zakat fitrah menurut pengertian syara’ adalah zakat yang
dikeluarkan oleh seorang muslim dari sebagian hartanya kepada orang-orang yang
membutuhkan untuk mensucikan jiwanya serta menambal kekuurangan-kekurangan yang
terdapat pada puasanya seperti perkataan yang kotor dan perbuatan yang tidak
ada gunanya.[2]
Di riwayatkan dari Ibnu Abbas, ia berkata:
حَدَّثَنَا
محمُودُ بنُ خَالِدٍ الدِّمَشْقَيُّ، وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ
السَّمْرَقَنْدِيُّ، قَالَا: حَدَّثَنَا مَرْوَانُ، قَالَ عَبْدُ اللَّهِ، حَدَّثَنَا
أَبُو يَزِيدَ الْخَوْلَانِيُّ وَكَانَ شَيْخَ صِدْقٍ وَكَانَ ابْنُ وَهْبٍ
يَرْوِي عَنْهُ، حَدَّثَنَا سَيَّارُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، قَالَ مَحْمُودٌ
الصَّدَفِيُّ، عَنْ عِكْرِمَةَ، عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: " فَرَضَ
رَسُولُ اللَّهِ ص م زَكَاةَ الْفِطْرِ
طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ
Artinya: Rasulullah SAW. mewajibkan zakat fitrah untuk mensucikan
diri orang puasa dari perbuatan sia-sia (al-laghw) dan perbuatan kotor
(ar-rafast), sekaligus untuk memberi makan orang-orang miskin.[3]
B.
Hukum Zakat Fitrah
Jumhur ulama’ dari kalangan salaf dan
khalaf sepakat bahwa zakat fitrah hukumnya wajib.[4] Sedangkan Asyhab
al-Maliki, Ibnu Labban asy-Syafi’I dan sebagian kalangan dzahiriah berpendapat
zakat fitrah hukunnya sunnah. Mereka menyatakan bahwa kata fardhu dalam hadist
artinya sebatas bahasa. yang dimaksudkan dalam hadits tersebut adalah arti
bahasa. fuqaha Ahnaf mengemukakan pendapat moderat, “hukumnya wajib”. Dan wajib
menurut mereka merupakan pertengahan antara fardhu dan sunnah.[5] Dan wajib adalah hokum
yang ditegaskan berdasarkan dalil dzanni sedangkan fardhu adalah hokum
hokum yang di tegaskan oleh dalil qath’i. zakat fitrah ditegaskan oleh
dalil dzanni bukan dalil qath’i.
a. Landasan hokum zakat fitrah
Al-Quran:
قد أفلح من تزكى
Sesungguhnya
beruntunglah orang yang membersihkan diri (dengan beriman),(Al-A’la{87}:14)
وآتوا الزكاة
dan tunaikanlah
zakat
(QS.Al-Baqarah{2}:110)
Hadist Nabi:
حدثنا
إسحاق بن موسى الأنصاري حدثنا معن حدثنا مالك عن نافع عن عبد الله بن عمر : أن
رسول الله صلى الله عليه و سلم فرض زكاة الفطر من رمضان صاعا من تمر أو صاعا من
شعير على كل حر أو عبد ذكر أو أنثى من المسلمين
Bahwa Rasulullah saw mewajibkan dari ramadhan sebesar satu sha’ kurma,
atau sha’ gandum, atas setiap orang merdeka maupun budak, laki-laki maupun
perempuan, dari kalangan kaum muslimin.[6]
Kata فرض adalah ungkapan atau istilah syari’ yang bisa
digunakan untuk menunjukan makna wajib. Hal ini lebih dipertegas lagi dengan
disertakannya huruf على yang juga menunjukan makna wajib ketika
beliau bersabda على كلّ حرّ (atas setiap orang yang merdeka).
Selain itu riwayat-riwayat yang sahih juga menggunakan redaksi: “Rasulullah
memerintahkan”, dan kata “memerintahkan”, secara dzahir juga bemakna wajib.[7]
C.
Hikmah Disyariatkannya Zakat Fitrah
Menurut pendapat yang mashur, zakat fitrah
disyariatkan pada bulan ramadhan tahun 2. Adapun hikmah diwajibkan zakat ini
adalah untuk mensucikan orang yang berpuasa dari perkataan kotor dan perbuatan sia-sia yang mungkin saja
ia lakukan selama puasa. Selain itu, kewajiban zakat fitrah ini merealisasikan
makana solidaritas, kasih saying dan berbuat kebaikan pada kaum faqir miskin
dengan membahagiakan dan menyenangkan hati mereka sehingga mereka tidak
merasakan pahitnya kemiskinan serta mencukupkan mereka dari kebutuhan
meminta-minta pada hari ketika umas islam bersenang-senang. Rasulullah
Bersabda:
أغنموا عن السؤال فى ذلك اليوم
Buatlah mereka
tidak perlu meminta-minta pada hari itu.[8]
D. Syarat Wajib Zakat Fitrah
Syarat wajib zakat fitrah antara lain:(1) Islam, (2) adanya
kelebihan makanan untuk kebutuhan dan orang-orang yang berada dalam tanggungan
nafkahnya pada malam hari raya dan ketika hari raya, dan (3) mendapati bagian
akhir ramadhan dan bagian awala bulan syawal.
Zakat fitrah dengan demikian tidak wajib bagi orang kafir di dunia
sebab zakat adalah suci mensucikan, sementara orang kafir tidak termasuk ke dalamnya. Namun jika ia
memiliki tangungan untuk membantu seorang muslim(yang berada di bawah
tanggungannya), maka ia harus mengeluarkannya atas namanya, dan sudah
mencukupkan jika ia mengeluarkannya tanpa niat. Adapun bagi orang murtad, jika
ia kembali ke pangkuan islam maka ia wajib zakat fitrah, jika tidak maka dia
tidak wajib.[9]
E.
Kadar dan Bentuk Zakat Fitrah
Kadar yang wajib bagi setiap individu dalam
zakat fitrah adalah satu Sha’ dari sesuatu yang biasa dimakan oleh
penduduk negerei tersebut, baik berupa biji-bijian(padi dan gandum), kurma,
anggur dan yang lainnya seperti keju dan susu. Yang menjadi acuan dalam hal ini
adalah makanan pokok orang yang dizakatkan, bukan makanan pokok orang yang
menzakati, sebab ia sejak awal sudah diwajibkan atasnya kemudian ditanggung
oleh si pemberi zakat.
Satu sha’ menurut ijma’ setara dengan 4mud. Atau
setara dengan 2,176 kg (lebih kurang 3,5 liter). Takaran ini berlaku untuk
jenis biji-bijian yang bersih dari campuran atau ulat atau berubah bau, rasa
dan warnanya.
F.
Mustahiq
Zakat Fitrah
Al-Qur’an surat At-Taubah ayat 60 menyebutkan
ada delapan golongan yang berhak menerima zakat. Mereka adalah fakir, miskin,
amil, muallaf, riqab, gharim, sabilillah, dan ibnu sabil.
انما
الصدقات للفقراء و المساكين والعاملين عليها والمؤلفة قلوبهم وفى الرقاب والغارمين
وفى سبيل الله و ابن السبيل, فريضة من الله والله عليم حكيم.
“Sesungguhnya
zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, para
amil zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak,
orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam
perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah; dan Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Bijaksana”.
Ayat tersebut dimulai dengan redaksi innama al shadaqat. Kata shadaqatyang
berarti zakat-zakat merupakan bentuk jamak dari kata shadaqah. Menurut
Imam Abu Zahroh apabila dilihat dari perspektif ushul fiqih, kata yang
berbentuk jamak dan diikuti dengan partikel “al” yang berfungsi mengkhusukan,
maka kata tersebut tergolong ke dalam bentuk kata “umum”. Implikasinya adalah
bahwa kata tersebut bersifat umum dalam pemaknaannya yang dengan sendirinya
belum boleh dijadikan hujjah terhadap
persoalan-persoalan yang bersifat khusus. Oleh karena itu perlu dicarikan dalil
lain yang bisa difungsikan sebagai takhsis untuk
mempertegas atau menjelaskannya.
Dengan demikian, kata al shadaqat yang
terdapat dalam ayat 60 surat At Taubah harus difahami sebagai kata yang
bersifat umum demikian juga pihak-pihak yang bisa menerimanya. Pertanyaan yang
muncul dalam memahami kata tersebut adalah apakah pendistribusian zakat fitrah
termasuk dalam kategori ayat tersebut?
Terkait dengan hal ini, ada dua pendapat yang
berkembang. Pertama,
bahwa distribusi zakat fitrah sama dengan distribusi zakat yang lain. Kelompok
ini berpendapat bahwa oleh karena kata al shadaqat bersifat
umum, maka hal itu mencakup semua bentuk zakat tak terkecuali zakat fitrah.[10]
Para ulama yang tergabung dalam kelompok ini adalah para ulama’ dari kalangan
Syafi’iyyah.
Kedua,
bahwa zakat fitrah tidak bisa dikategorikan ke dalam ayat 60 surat At Taubah. Beberapa
alasan yang dikemukakan oleh kelompok ini adalah:
a. Keberadaan hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas
فرض
رسول الله زكاة الفطر طهرة
للصائم من اللهو و الرفث و طعمة للمساكين
merupakan takhshish terhadap
keberadaan ayat 60 surat at
Taubah.
b. Kewajiban yang dibebankan
oleh zakat fitrah dan zakat yang lain berbeda. Dalam zakat seseorang baru
diwajibkan mengeluarkan zakat atas hartanya apabila; 1) Islam, 2) merdeka, 3)
harta tersebut merupakan harta miliknya secara penuh, 4) sudah mencapai satu
nisab, dan 5) mencapai satu khaul (untuk barang-barang tertentu).[11]
Ketentuan-ketentuan tersebut hanya bisa dipenuhi bagi orang-orang muslim yang
dalam keadaan berkecukupan harta, sedangkan orang muslim yang miskin rasanya
tidak mungkin bisa memenuhi ketentuan di atas. Jika demikian, maka orang muslim
yang miskin tidak berkewajiban mengeluarkan zakat atas hartanya. Berbeda dengan
hal itu, kewajiban zakat fitrah tidak didasarkan atas berapa banyak harta yang
dimiliki, akan tetapi pada: 1) Islam, 2) mampu menjumpai malam iedul
fitri, dan 3) tersedia
kelebihan makanan pada malam hari raya untuk dirinya atau keluarganya.[12]
Apabila seorang muslim masih bisa menjumpai malam iedul fitri sedangkan dia
mempunyai kelebihan makanan, maka yang bersangkutan berkewajiban mengeluarkan
zakat fitrah. Bahkan bayi yang dilahirkan pada iedul fitri sekalipun, apabila
orang tuanya mamiliki kelebihan makanan, maka wajib bagi dia mengeluarkan zakat
fitrah atas bayinya. Tidak adanya perbedaan antara yang kaya dan miskin antara
yang besar dan yang kecil dalam kewajiban membayar zakat fitrah sebagaimana
dinyatakan dalam hadits Rasul yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah;
أدوا
صدقة الفطر صاعا من قمح – أو قال بر- عن
كل إنسان صغير أو كبير, حر أو مملوك, غني أو فقير, ذكر أو أنثى
c. Tujuan
disyariatkannya zakat fitrah bebeda dengan yang zakat lain. Tujuan ibadah zakat
fitrah adalah untuk mensucikan orang-orang yang berpuasa dari perkataan dan
pernuatan yang tidak bermanfaat yang mereka lakukan pada saat berpuasa.
Sementara itu tujuan ibadah zakat adalah membersihkan kotoran yang terdapat
pada manusia.
Dari tiga argumentasi di atas, kelompok ini
berketetapan bahwa perlakuan terhadap zakat fitrah tidak bisa disamakan dengan
perlakuan terhadap zakat yang lain. Oleh karena zakat fitrah berbeda dengan
zakat yang lain, maka pendistribusiannya juga berbeda. Zakat fitrah tidak bisa
diberikan kepada selain fakir dan miskin. Kelompok ini juga berpendapat bahwa
redaksi hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas secara tegas menyebut “tu’matun li al masakin” yang
artinya makanan bagi orang-orang miskin. Hadits ini memberikan penegasan bahwa
mereka yang berhak menerima distribusi zakat fitrah adalah fakir dan miskin dan
bukan enam ashnaf (golongan) yang lain.
Yusuf Qardawi menyebut ada beberapa ulama yang
tergabung dalam kelompok kedua yang menghususkan distribusi zakat hanya kepada
fakir dan miskin. Mereka adalah Imam, Muhammad Ibnu Rusyd al Qurthubi,
ulama’-ulama’ dari madzhab Malaki, Ahmad bin Hambal, Ibnu Taymiyyah, Ibnul
Qoyyim al Jauziyah, Imam Hadi, Qashim dan Imam Abu Thalib. Sementara itu Wahbah
Zuhaili menyebut bahwa ulama’-ulama dari madzhab Hanafi juga ada dalam barisan
ini.[13]
Ibnu Rusyd berpendapat bahwa para ulama’
bersepakat bahwa zakat fitrah hanya diperuntukkan bagi kaum fakir dan miskin
yang muslim. Senada dengan Ibnu Rusyd, Ibnul Qoyyim menyatakan:
“Beliau (Rasulullah) memberikan zakat fitrah
ini secara khusus kepada orang-orang miskin dan tidak menyalurkannya kepada
delapan kelompok secara merata serta tidak memerintahkannya. Tak seorang pun di
antara para sahabat Nabi yang juga melakukannya”[14]
Zuhaili menjelaskan bahwa para ulama dari
madzhab Hanafi telah bersepakat bahwa zakat fitrah hendaknya didistribusikan
kepada fakir miskin yang muslim, terkecuali untuk kelurga bani Hasyim.
Sebab bani Hasyim adalah
orang-orang yang mulia sehingga mereka tidak patut mendapatkannya.[15]
Sementara itu, Qardawi (1997:963) berpendapat
bahwa menurut kesepakatan para ulama bahwa zakat fitrah hanya diperuntukkan
kepada fakir miskin yang bergama Islam. Qardawi menambahkan bahwa
dikhususkannya zakat fitrah untuk kaum fakir dan miskin muslim adalah sejalan
dengan perintah Rasul agar umat Islam bisa mebantu saudara muslim lainnya yang
sedang kekurangan pada hari raya. Rasulullah
s.a.w bersabda: أغنو
هم فى هذا اليوم
G.
Waktu Pelaksanaannya
Zakat Fitrah adalah
ibadah yang tidak bisa dilepaskan dengan rangkaian ibadah di bulan Ramadhan,
sebab kewajiban berzakat fitrah hanya boleh dilakukan pada bulan Ramadhan. Dengan
kata lain apabila zakat fitrah dilakukan di luar buan Ramadhan, bisa dipastikan
bahwa status zakat fitrah yang dibayarkan menjadi tidak sah. Rasulullah dalam
salah satu haditsnya yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas menjelaskan
من أداها قبل الصلاة فهي زكاة مقبولة, و من
أداها بعد الصلاة فهي صدقة من الصدقات
Barangsiapa
yang membayar zakat fitrah sebelum dia melaksanaan shalat iedul fitri, maka
zakat fitrahnya diterima (dinyatakan sah), akan tetapi barangsiapa yang
mengeluarkannya setelah melaksanakan shalat iedul fitri, maka zakat fitrahnya
hanya dianggap sebagai sedekah biasa.
Kata “qabla al shalah” (sebelum
shalat iedul fitri) dalam hadits di atas menimbulkan perbedaan pendapat di
kalangan para ulama’. Ibnu Hazm melarang mendahulukan membayar zakat fitrah
sebelum terbenamnya matahari di malam hari raya. Imam Malik dan Imam Hambali
berpendapat bahwa boleh membayar zakat fitrah maksimal dua hari sebelum hari
raya. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari bahwa para
sahabat mengeluarkan zakat fitrah satu hari atau dua hari sebelum hari raya.
Sementara itu, Imam Syafi’i menyatakan bahwa
boleh saja seseorang membayar zakat fitrah sejak awal Ramadhan. Sebab,
kewajiban zakat fitrah adalah sangat terkait dengan kewajiban ibadah puasa,
sehingga membayar zakat fitrah meskipun pada awal bulan adalah sesuatu yang
diperbolehkan. Berbeda dengan ketiga pendapat Imam di atas, Imam Hanafi justru
membolehkan pada awal tahun. Imam Hanafi menganalogkan hal ini dengan
diperbolehkannya seseorang yang hendak membayar zakat pada awal tahun.[17]
Mengomentari pendapat-pendapat tersebut, Yusuf
Qordowi berpendapat bahwa pendapat Imam Malik dan Imam Hambali adalah pendapat
yang lebih hati-hati. Ia menambahkan bahwa boleh-boleh saja pemerintah memungut
zakat ini dari masyarakat pada pertengahan bulan Ramadhan jika hal itu
dimaksudkan untuk antisipasi tidak meratanya distribusi zakat fitrah kepada para
mustahiq karena minimnya waktu yang ada.[18]
"
BAB III
KESIMPULAN
Dari beberapa hal yang
dikemukakan di atas dapat disimpulkan bahwa zakat fitrah dan zakat pada umumnya
memiliki perbedaan yang signifikan, yakni dalam dasar penentuan kewajiban, waktu
pelaksanaan, sasaran wajib zakat, maupun para mustahiqnya.
Dilihat dari aspek dasar
penentuan kewajiban antara zakat fitrah dan zakat yang lain ada perbedaan yang
sangat mendasar. Zakat fitrah merupakan kewajiban yang bersumber pada
keberadaan pribadi-pribadi (badan), sementara zakat-zakat selain zakat fitrah
adalah kewajiban yang diperuntukkan karena keberadaan harta. Meskipun dalam hal pendistribusian
zakat fitrah terdapat perbedaan pendapat, yakni antara yang memperbolehkan dibagikan
kepada seluruh ashnaf yang delapan dan antara yang hanya memperbolehkan kepada
fakir dan miskin, akan tetapi apabila dilihat dari maqashid al syari’ah atau berbagai pertimbangan logis
disyariatkannya zakat fitrah, maka tampak bahwa yang paling mendekati ke arah
sana adalah pendapat yang hanya mengkhususkan zakat fitrah kepada fakir dan
miskin.
DAFTAR PUSTAKA
Qardawi,
Yusuf. 1997. Hukum Zakat.
Jakarta. Litera Antar Nusa.
Syuja’,
Abu. T.th. Fath al Qarib.
Surabaya. Hidayah.
Zuhaili,
Wahbah. 1997. Fiqh al Islam wa adillatuh.
Beirut. Dar al Fikr.
Al Jauziyyah, Ibn Qayyim. 1999. Zadul Ma’ad Bekal Menuju ke Akherat.
Jakarta. Pustaka Azzam.
Aziz
M Abdul. Azzam Dkk. Fiqih Ibadah (Thaharah, Sholat, puasa, Zakat dan Haji).
Amzah, Jakarta, 2010
Drajat
Zakiah., Ilmu Fiqih Jilid I, Dana Bakti Waqaf, Yogyakarta,1995.
Syarh An-Nawawi ‘ala Shahih Muslim IV
Al-Muhalla IV
Fiqh Az-Zakah II
At-TalkhisII
Nashb Ar-Rayah II
Ad-din al-khalish, VII
Muntaqa
Al-Akhbar dan Nail Al-Authar IV
[1]
Prof. Dr. Zakiah Drajat., Ilmu Fiqih Jilid I, Dana Bakti Waqaf,
Yogyakarta,1995. Hal.242
[2] Prof. Dr. Abdul Aziz M. Azzam Dkk. Fiqih Ibadah (Thaharah,
Sholat, puasa, Zakat dan Haji). Amzah, Jakarta, 2010, hal.395
[3] HR.
Abu Dawud, Ibnu Majjah, Ad-Daruqhutni dan Al-Hakim, dari jalur ikrimah dari
Ibnu Abbas. Lanjutnya:
(مَنْ
أَدَّاهَا قَبْلَ الصَّلَاةِ فَهِيَ زَكَاةٌ مَقْبُولَةٌ، وَمَنْ أَدَّاهَا بَعْدَ
الصَّلَاةِ فَهِيَ صَدَقَةٌ مِنَ الصَّدَقَاتِ) Barang
siapa yang menunaikannya sebelum sholat(idul fitri), maka ia adalah zakat yang
diterima, dan barang siapa yang menunaikannya setelah sholat, maka ia termasuk
sedekah. Ia merupakan hak yang wajib atas setiap muslim, kecil maupun besar,
laki-laki maupun perempuan. Lihat At-Talkhis II/83
[4] Ibid.,Fiqih
Ibadah. Hal.396
[5] Ad-din
al-khalish, VII/190
[6] Disebutkan
dalam Muntaqa Al-Akhbar dan Nail Al-Authar IV/179
[8] Versi
lain diriwayatkan oleh Al-Baijhaqi dari riwayat Abu Ma’syar dari Nafi’ dan Ibnu
Umar dengan redaksi:” Rasulullah saw. mewajibkan zakat fitrah, lalu bersabda,”Kayakanlah
mereka pada hari ini.” Lihat At-TalkhisII/83, dan Nashb Ar-Rayah II/432.
[9] Prof.
Dr. Abdul Aziz M. Azzam Dkk. Fiqih Ibadah (Thaharah, Sholat, puasa, Zakat
dan Haji). Amzah, Jakarta, 2010, hal.397
[12] Ibid.,
Abu Syuja’ Fath al Qarib. Hal. 97
[13] Yusuf Qardawi.. Hukum Zakat. Jakarta. Litera Antar
Nusa.1997. hal 965
[14] Ibn Qayyim Al Jauziyyah,.. Zadul Ma’ad Bekal Menuju ke Akherat. Jakarta. Pustaka Azzam. 1999. Hal.74
[15] Ibid., Wahbah Zuhaili,.. Fiqh al
Islam wa adillatuh. Hal.2048
[17] Ibid.,Yusuf Qardawi, Hukum Zakat hal. hal 958
[18] Ibid.,Yusuf
Qardawi, Hukum Zakat hal.994