ORIENTALISME
{Edward W. Said Dan Bernard Lewis}
Makalah ini
guna memenuhi tugas mata kuliah:
Orientalisme
Disusun Oleh:
Ahmad Mun’im
Nim: 11350010
Prodi: As-b
Dosen
Pengampu:
NOORHAIDI,
DR.,M.PHIL.,PH.D.,S.AG
AL-AHWAL AS-SAHSIYAH
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGRI SUNAN KALI JAGA
YOGYAKARTA
2012
KATA PENGANTAR
Segala puji syukur kehadirat Allah SWT, yang telah memberi taufiq dan
hidayahnya kepada kita semua yang mana kita dapat menjalankan kegiatan
perkuliahan ini dengan lancer. Tak lupa kita
haturkan solawat serta salam kpada junjungan kita Nabi Agung Muhammad
SAW, yang telah menunjukan kita dari jalan kegelapan menuju jalan terang
benderang yaitu Addinul Islam.
Alhamdulillah pada kesempatan kali ini, saya dapat menyelesaikan tugas
mata kuliah Orientalisme dengan judul Orientalisme (Edward W. Said dan Bernard
Lewis) yang mana tugas ini guna memenuhi tugas UTS yang disampaikan Oleh dosen
pengampu Bapak.Noorhaidi,
DR.,M.PHIL.,PH.D.,S.AG. mungkiln dalam hal ini banyak kekurangan dalam memenuhi tugas tersebut,
karena saya sebagai manusia biasa pasti mempunyai kekurangan dalam segala hal,
termasuk menyelesaikan tugas ini.
Saya ucapkan banyak terima kasih kepada Bapak dosen pengampu mata kuliah
Orientalisme Bapak Noorhaidi, DR.,M.PHIL.,PH.D.,S.AG, yang telah membimbing saya untuk memahami
matakuliah ini, dan saya ucapakan banyak terimakasih kepada sahabat-sahabat
yang telah memberi dukungan dan dorongan untuk tetap semangat dalam menyeselaikan tugas ini dengan
semaksimal mingkin.
Mungkin hanya ini yang dapat saya sampaikan kurang lebihnya saya sebagai
manisa biasa mohon maaf sebanyak-banyaknya sekian dan terimakasih atas perhatian dan waktunya untuk memberi
kesempatan dalam memebrikan tugas kepada saya.
Penulis, 17 November 2012
Yogyakarta
BAB I
Pendahuluan
Dalam bukunya Edward W. Said menegaskan bahwa
dengan hanya mengkaji teks-teks Orientalis melalui oprasi diskursif yang
berlangsung di dalamnya, kita bisa menyingkap relasi idiologis yang terdapat
dalam Orientalisme. dengan meminjam teori Michel Foucault sebagai pisau bedah,
said membagi empat jenis relasi kekuasaan yang hidup dalam wacana Orientalisme:
kekuasaan politis (pembentuakn kolonialisme dan imperialisme); kekuasaan
intelektual (mendidik timur melalui sains, linguistic, dan pengeatahuan lain);
kekuasaan kultural (kolonialisasi selera, teks, dan nilai-nilai, misalnya timur
memiliki estetika colonial, yang secara muda bisa ditemukan di india, mesir dan
Negara-negara bekas colonial lain); serta kekusaan moral(apa yang baik
dilakukan dan tidak dilakukan oleh timur).
Dalam buku lain dikatakan selama berabad-abad, dunia islam pernah
menempati posisi yang sangat penting dalam peradaban manusia, baik dalam hal
kekutan militer dan perekonomian. Islam juga pernah menjadi pelopor dalam dunia
seni dan ilmu pengetahuan. Sementara itu, pada saat bersamaan umat Kristen
Eropa, negara islam, sedang mengalami masa kegelapan yang ditandai dengan prilaku barbar dan tidak
kepercayaan terhadap tuhan sehingga mereka dipandang sebagai kekuatan yang
patut disegani. Namun kemudian segalanya berubah,ketika barat yang dulunya
dianggap lemah mulai memperoleh kemenangan di medan perang dan di dunia
perdagangan, sampai dengan kemenangan di hampir setiap aspek kehidupan masyarakat dan bahkan kehidupan pribadi.
Dalam buku yang sangat menarik ini, Bernard Lewis mengkaji berbagai reaksi umat
islam ketika mereka berusaha memahami mengapa segalanya berubah, mengapa mereka
dapat dikalahkan dan semakin didominasi oleh barat.
Dalam hal ini selanjutnya akan dibahas secara
global mengenai pandangan dunia barat dan timur berdasarkan
pemikiran-pemikiran, tokoh-tokoh orientalis lebih hususnya pemikiran antara
Edward W. Said dalam bukunya Orientalisme dan Bernad Lewis dalam bukunya
“Apa Yang Salah”.
BAB II
Pembahasan
A. Biografi Edward W. Said
Edward W. Said lahir di tanah Yerussalem pada 1 November 1935, tepatnya
didaerah Talbiyah (sebuah kawasan terpencil di Palestina Barat) Said harus
mengungsi ke Mesir Pasca-kekalahan Palestinapada 1947, dan kemudian menjadi
imigran di amerika serikat pada 1951. Semenjak lahir Said memang tak pernah
lepas dari paradox identitas. Hidup di lingkungan Palestina yang nyaris
berpenduduk muslim, dengan nama depan (Edward) berasal dari Inggris dan nama
belakang (Said) dari Arab, serta nama tengah (Wadie) dengan nama sang ayah
berbisnis dikairo, namun lebih senang dianggap sebagai orang Amerika, membuat
said selalu merasa sebaga” yang lain”, yang berjuang untuk tidak menjadi “ Edward” ciptaan ayahnya,
tidak perlu menjadi “Said” ciptaan Amerika yng tak pernah jelas genealoginya,
apalagi menjadi seorang “Wadie” yang selalu memakskan aturan hidup kepadanya.
Said meninggal pada hari kamis, 25 September 2003, di rumah sakit New York,
tepat usianya yang ke-67. Penyakit leukemia akut yang dideritanya sejak 1992
membuat Said harus berjuan sendirian, persis ketika ia memperjuangkan masalah
yang sama kronisnya sejak lebih dari dua decade perjalanan kariernya sebagai
seorang intelektual; masalah Palestina.
Meski demikian, empat bulan sebelum menghembuskan nafas terahirnya, Mei
2003 Said masih sempat menulis prolog untuk buku Orientalisme (1978).
B. Pemikran Edward W. Said
Said adalah seorang diaspora, yang melewatkan
sebagian besar hidupnya sebagai manusia yang terasing dari tanah airnya
sendiri. Jejak-jejak diaspora ini dalam memoir Said yang ditulisnya sejak
1967-1994, Out Of Place (1999).
Tahun 1967, ketika bangsa Arab dikalahkan oleh
Israel, “ keterasingan itu semakin terasa, apalagi pada saat itu Said tengah berda
di Amerika Serikat yang pro-Israel.
Tahun 1968, setelah terbentuknya Organisasi
Pembebasan Palestina, Said memutuskan untuk tidak membedakan antara” yang
pribadi” dengan “ yang politik.” Keputusan inilah yang kemudian membakar Said
untuk menulis kajian yang subversive tentang representasi Timur dan Barat.
Tahun 1970-an, ketika teori-teori tinggi prancis
mulai masuk ke Dunia Anglo-Saxon, kajian pascakolonial mulai terlambangkan oleh
Said untuk menulis momen paling menentukan yang dimanfaatkan oleh Said untuk
menulis Orientalisme.Dari sekitar 25 buku yang terlahir dari tangannya, Orientalisme
mungkin tergolong yang paling fenomenal.
Said memang bukan satu-satunya pemikir yang
melopori kajian pascakolonial. Sebelumnya, Aime Casaire dan frantz Fanon telah
melakukan hal yang sama, masing-masing, dengan bukunya From Discourse on
Coloniaalism (1995) dan the Fact of Blackness (1952). Akan tetapi,
kajian yang pertama yang mengkritik idiologi colonial secara diskursif hanyalah
buku Orientalinsya Said.
Bagi Said, hanya dengan mengkaji teks-teks
orientalis melalui oprasi diskursif yang berlangsung di dalamnya, kita bisa
menyingkap relasi idiologis yang terdapat dalam orientalisme.
Kajian Orientalis yang dibedah Said secara umum
banyak berutang budi pada dua intelektual kenamaan, Michael Foucault dan
Antonio Gramsci, dengan menggunakan teori discourse Foucault, Said
mengangkat pertanyan-pertanyaan tentang relasi kekuasaan yang melatari
representasi Timur dalam Geneologi Orientalisme. Bagi Said , Orientalisme
merupakn sebuah diskursus yang tidak berkaitan dengan satu kekuasaan politis
saja melainkan dihasilkan melalui satu ajang pertukaran melalui jenis
kekuasaan.
Said membagi empat jenis relasi kekuasaan yang
hidup dalam wacana orientalisme:
kekuasaan politis (pembentuakn kolonialisme dan imperialisme); kekuasaan
intelektual (mendidik timur melalui sains, linguistic, dan pengeatahuan lain);
kekuasaan kultural (kolonialisasi selera, teks, dan nilai-nilai, misalnya timur
memiliki estetika colonial, yang secara muda bisa ditemukan di india, mesir dan
Negara-negara bekas colonial lain); serta kekusaan moral(apa yang baik
dilakukan dan tidak dilakukan oleh timur).
Relasi ini, menurut said, beroprasi berdasarkan
model idiologi yang disebut Antonio Gramsci sebagai Hegomoni-satu
pandangan bahwa gagasan tertentu lebih berpengaruh dari gagasan lain, sehingga
kebudayaan tertentu lebih dominan dari kebudayaan-kebudayaan lain. Bagi said
orientalisme pada hakikatnya tak lebih sebagai bentuk “legitimasi” atas
superioritas kebudayaan barat terhadap inferioritas kebudayaan timur. Said lalu
menyebut “ hegomoni kultural” sebagai praktik tak berkesesudahan yang
berlangsung dalam wacana orientalisme.
Representasi, setidaknya, menjadi salah satu
konsep kunci dalm buku Orientalisme. Untuk itulah, dalam epiloginya yang
ditulis pada 1994 dan diulangi kembali pada salah satui kesempatan pada
wawancaranya dalam Power, Politics, and Culture (2001), banyak orang
yang menganggap dirinya sebagai, jika tidak “anti-Barat.” Selalu “pendukung
fundamentalisme Islam.
C. Biografi Bernard Lewis
Bernard Lewis adalah
sorang guru besar dalam bidang kajian Timur dekat di Princeton University,
sebagai orang yang sangat ahli dalam sejarah Timur Tengah, ia pernah
menulis lebih dari duabelas buku.
Beberapa buku karya Bernard Lewis yang paling laris diantaranya adalahThe
Arab in History, The Emergence of Modern Turkey, The Political Language of
Islam, The Muslim Discovery of Europe dan The Middle East: A Brief History
of The last 2000 Years.
D. Pandangan Bernard Lewis Terhadap Kemunduran Umat Islam
selama berabad-abad, dunia islam pernah menempati posisi yang sangat
penting dalam peradaban manusia, baik dalam hal kekutan militer dan
perekonomian. Islam juga pernah menjadi pelopor dalam dunia seni dan ilmu
pengetahuan. Sementara itu, pada saat bersamaan umat Kristen Eropa, negara
islam, sedang mengalami masa kegelapan
yang ditandai dengan prilaku barbar dan tidak kepercayaan terhadap tuhan
sehingga mereka dipandang sebagai kekuatan yang patut disegani. Namun kemudian
segalanya berubah,ketika barat yang dulunya dianggap lemah mulai memperoleh
kemenangan di medan perang dan di dunia perdagangan, sampai dengan kemenangan
di hampir setiap aspek kehidupan
masyarakat dan bahkan kehidupan pribadi. Dalam buku yang sangat menarik ini,
Bernard Lewis mengkaji berbagai reaksi umat islam ketika mereka berusaha
memahami mengapa segalanya berubah, mengapa mereka dapat dikalahkan dan semakin
didominasi oleh barat.
Bernard Lewis mengkaji berbagai reaksi umat islam ketika mereka berusaha
memahami mengapa segalanya berubah, mengapa mereka dapat dikalahkan dan semakin
didominasi oleh barat. Lewis memberikan gambaran yang sangat gambling mengenai
budaya islam yang sedang mengalami kegamangan. Ia menunjukan bagaimana bangsa
Timur Tengah pernah menjadikan Eropa sebgai rujukan untuk mempelajari berbbagai
hal seperti persenjataan dan setrategi
militer, prdagangan dan industry, pemerintahan dan diplomasi, serta pendidikan
dan budaya.
Lewis menjelaskan perbedaan yang mencolok
antara budaya Barat dan Timur Tengah abad XVIII sampai abad XX dengan
memaparkan perbandingan-perbandingan yang provokatif tentang
persoalan-persoalan yang berkaitan dengan Kristen dan islam, musik dan seni
posisi perempuan sekularisme, masyarakat sipil, serta jam dan kalender.
Dalam penjelasan berikutnya akan dipaparkan dengan wawancara imajiner
antara Penulis dengan Bernard Lewis
E. Wawancara Imajiner bersama Bernard Lewis
Penulis : menurut anda bagaimna
tentang dunia timur, dan dimana letak perbedaan antara timur dengan
barat?
Bernard :Orang
Arab/Islam/Turki tidak tertarik dengan peradaban lain, berbeda dengan para
Orientalist Eropa. Sepanjang sejarahnya, bangsa Arab (Turki termasuk) tidak
melakukan kajian-kajian luar Peradaban (kecuali penerjamahan filsafat Greek
yang kemudian sangat membantu transmisi), dan juga tidak tertarik belajar
tentang bahasa dan peradaban yang mereka kuasai (Afrika, Eropa, Asia). Saya
melihat dikotomi Arab/Islam/Turki Usmani dan Erope/Barat sebagai berbeda secara
diametral. Sejarah menunjukan kondisi diametral itu. Ada "karakter"
historis bangsa Arab yang menyebabkan perkembangan kajian di dunia Arab tidak
maju, berbeda dengan bangsa Eropa dan sekarang AS. Jika anda menginginkan
penjelasan lebih detail silahkan baca karya saya yang berjudul Apa Yang Salah?
Di sana saya beberkan sebab-sebab runtuhnya khilafah dan kemunduran umat islam
berdasarkan sejarah yang tertulis dan bukti-buktinya.
Penulis:
dalam karya anda saya menbaca sedikit penjelsan anda bahwa sepanjang abad XX
umat islam banyak melakukan kesalahan-kesalahan dalam suatu hal?
Bernard: Sepanjang abad XX,
sangat jelas terlihat bahwa si timur tengah dan bahkan di seluruh wilayah islam
banyak hal yang berlangsung dengan cara yang benar-benar salah. Di bandingkan
dengan Kristen, dunia islam menjadi miskin, lemah dan terbelakang. Selama abad
XIX dan XX, keunggulan dan dominasi barat semakin jelas terlihat dan
mempengaruhi kalangan muslim dalam setiap aspek kehidupan public dan bahkan,
lebih parah lagi dalm aspek kehidupan pribadi
Penulis :
apa tidak ada upaya para orang-orang muslim dalam menyikapi masalah itu?
Bernard :Ada sebagian
para pendukung modernisasi dengan melakukan reformasi atau revolusi mengkonsentrasikan
upaya-upaya meraka dalam tiga bidang pokok yakni militer, ekonomi dan politik
hasil hasil yang di capinya sangtlah mengecewakan. Upaya untuk mencapai
kejayaan dengan memoderenkan militer. Ternyata membawa serangkaian kekalahan
yang memalukan. Upaya untuk memperoleh
kekayaan melalui pembanguna malah membuat Negara-negara menjadi miskin dan
menciptakan system perekonomian yang korup yang terus-menerus membutuhkan
bantuan luar negri.
Penulis :
apakah pola hubungan antara timur dan barat di sebabkan kemunduran dari timur
tengah?
Bernard :Kalau saya
menganalisis argumen yang biasanya sering di jadikan dalil adalah bahwa
berubahnya pola hubungan antara Timur dan Barat bukanlah kemunduran Timur
Tengah tetapi bangkitnya Barat, yang ditandai dengan adanya penemuan, gerakan
ilmu pengetahuan, revolusi teknologi, industry dan politik yang telah mengubah
Barat dan meningkatkan kekayaan dan kekuasaanya. Tetapi perbandingan ini tidak
menjawab pertanyaan-pertanyaan yang sesungguhnya; perbandingan tersebut hanya
menyatakan kembali kenapa para penemu Amerika mulai berlayar dari Spanyol dan
bukan dari pelabuhan atlantik yang di kuasai muslim.
Penulis:
Dalam karya anda ini “Apa Yang salah” ada pertanyaan, kenapa trobosan
ilmu pengetahuan yang luar biasa terjadi di eropa yang bukannya di tanah-tanah
islam yang masarakatnya lebih kaya, maju dan dalam banyak hal yang terdidik?
Bukannya itu emng dalam islam itu seperti itu menurut anda bagaimna?
Bernard :Sikap
menyalahkan ini salah satunya malah mengarah pada kondisi masyarakat islam
sendiri da ukan pada masyarakat luar islam. Hal yang di slahkan dalam hal ini
aalah agama, khususnya islam. Namun, menyalahkan islam sangatlah berbahaya dan
jarang sekali dilakukan hal ini juga sangat dilarang. Di abad pertengahan,
bukan budaya timur yang kuno ataupun budaya barat yg baru yang menjadi pusat
peradaban dan kemajuan yang utama. Akan tetapi dunia islamlah yang memainkan
peranan sentral tersebut.
Penulis : menurut
anda apakah ada pengaruh dalam dunia arab dari bangsa lain baik itu dari segi
politik atau ekonomi dll?
Bernard :Ada pngarauh
dari bangsa lain yaitu pada masa dominasi inggris adan prancis di kebanyakan
dunia arab pada abad XIX dan XX memunculkan kambing hitam yang lebih hebat
lagi, yakni penjajahan barat di timur tengah selalu ada alasan untuk
selalu membuat tuduhan semacam itu.
Dominasi politik, penetrasi ekonomi dan utamnya pengaruh budaya barat, telah
mengubah wajah kawasan tersebut dan mentransformasi kehidupan masyarakatnya, dengan
membawa mereka kearah kehidupan lain, dengan membangkitkan harapan dan rasa
takut baru, dan dengan menciptakan resiko dan pengharapan baru yang belum
pernah mereka alami.
BAB III
PEMIKIRAN TOKOH ISLAM KONTEMPORER
1.
Pemikiran Abdullah ahmad An-Na’im (Dekonstruksi Syari’ah)
a. Metodologi Pemikiran An-Na’im
Reformasi Islam atau dekonstruksi syari’ah
yang digagas an-Na’im yang kemudian terkenal ke seluruh penjuru dunia sebagai
respon terhadap pemikirannya bermaksud memberikan solusi bagi proses perubahan
persepsi, sikap dan kebijakan umat Islam atas dasar-dasar Islam dan bukan
sekuler. Tesisnya mengatakan bahwa jika tidak dibangun dasar pembaruan modernis
murni yang dapat diterima secara keagamaan, maka umat Islam sekarang dan akan
datang hanya punya dua alternative, yaitu mengimplementasikan syari’ah dengan
segala kelemahan dalam menjawab dinamika zaman dan masalahnya, atau
meninggalkannya dan memilih hukum publik sekuler”Menurut
an-Na’im, selama umat Islam tetap setia pada kerangka kerja syari’ah historis,
mereka tidak akan pernah benar-benar mencapai tingkat keharusan pembaruan yang
mendesak sepaya hukum publik Islam bisa berfungsi sekarang”Selanjutnya
an-Na’im mengambil metode gurunya, yaitu metodologi pembaharuan yang
revolusioner, yang digambarkan sebagai evolusi legislasi Islam (modern
misticalapproach), yang intinya suatu ajakan untuk membangun prinsip
penafsiran baru yang memperbolehkan penerapan ayat-ayat al-Qur’an dan Sunnah.
Pendekatan ini jika diterapkan akan mampu memecahkan kebuntuan antara tujuan
pembaruan, keterbatasan konsep dan teknik syari’ah historis. Prinsip naskh pembatalan
teks al-Qur’an dan Sunnah tertentu untuk tujuan-tujuan penetapan hukum oleh
teks-teks al-Qur’an dan Sunnah untuk tujuan-tujuan penetapan hukum oleh teks
al-Qur’an dan Sunnah yang lain sangat menentukan bagi validitas teoritik dan
kelangsungan praktek dari pendekatan evolusioner. Kemudian memadukan
teori naskh tersebut dengan prinsip-prinsip umum tentang
analisa kongkret terhadap implikasi-implikasi hukum publik Islam. Utamanya
terhadap keseimbangan hak-hak muslim dan non-muslim serta laki-laki dan
perempuan dalam menentukan nasib sendiri. Inilah harga kemanusian yang
tertimbun dalam formulasi teoritik syari’ah tradisional.
An-Na’im mengadopsi teori naskh gurunya
dengan alasan bahwa:
1. Pesan Mekah adalah pesan abadi dan fundamental yang
menginginkan egalitarianisme seluruh umat manusia. Karena pesan Mekah ini belum
siap diterapkan oleh manusia pada abad ketujuh, maka Allah menurunkan pesan
Madinah yang lebih sesuai dengan kondisi zaman waktu itu.
2. Pemberlakuan teori naskh lama itu
tidak permanen, karena jika permanen berarti umat Islam menolak sebagian dari
agamanya.
b. Implementasi Pemikiran An-Na’im
Pemikiran an-Na’im adalah formulasi yang
menyeluruh, mencakup struktur politik, sosial, hukum pidana, hukum internasional,
dan hak-hak asasi manusia. Dalam bukunya Dekonstruksi Syari’ah an-Na’im
lebih memfokuskan pada tiga masalah pokok, yaitu perbudakan, gender dan
non-muslim. Dari tiga pokok masalah tersebut dijabarkan dalam beberapa hal,
diantaranya berikut ini:
a. Syari’ah dan Konstitusional Modern
Istilah konstitusionalisme
mengimplikasikan pembatasan hukum atas kekuasan penguasa dan pertanggungjawaban
politiknya terhadap sekelompok manusia lain. Beberapa
ulama telah menyatakan pendangan bahwa karena Tuhan sendiri pembuat
undang-undang dalam Islam, maka tidak ada ruang abadi legislasi atau kekuasan
legislatif di bawah syari’ah. Hal ini dibantah oleh an-Na’im bahwa pertimbangan
manusia harus tetap digunakan dalam menentukan prinsip-prinsip dan
aturan-aturan syari’ah yang bisa diterapkan. Baik al-Qur’an maupun Sunnah harus
ditafsirkan untuk mengembangkan prinsip-prinsip dan aturan-aturan hukum.
b. Syari’ah dan Hak Asasi Manusia
Ada suatu prinsip normatif umum yang
dimiliki oleh semua tradisi kebudayaan besar yang mampu menopang standar
universal hak-hak asasi manusia. Prinsip itu menyatakan bahwa seseorang
harus memperlakukan orang lain sama seperti ia mengharapkan diperlakukan orang
lain. Aturan yang teramat indah ini mengacu pada prinsip resiprositas yang
sesungguhnya dimiliki oleh semua tradisi agama besar di dunia. Selain itu
kekuatan moral dan logika dari proposisi yang sederhana ini dapat dengan mudah
diapresiasi oleh semua umat manusia, baik tradisi kultural maupun persuasi
filosofis. Menurut
Taha bahwa prinsip murni dalam Islam adalah kebebasan. Perbudakan bukan ajaran
murni Islam. Diskriminasi laki-laki dan perempuan bukan ajaran murni Islam,
poligami bukan ajaran murni Islam dan perceraian juga bukan ajaran murni Islam. Problem
berkenaan dengan penggunaan prinsip resiprositas dalam konteks ini adalah
kecendrungan tradisi kultural, khususnya agama, untuk membatasi penerapan
prinsip terhadap keanggotaan tradisi kultural dan agama yang lain, bahkan pada
kelompok tertentu dalam tradisi atau agama itu sendiri. Konsepsi prinsip
resiprositas historis berdasarkan syari’ah tidak berlaku bagi perempuan dan
non-muslim sebagaimana untuk laki-laki muslim. Intinya menurut an-Na’im bahwa
hak-hak asasi manusia didasarkan pada kedua kekuatan utama yang memotivasi
seluruh tingkah laku manusia, kehendak untuk hidup dan kehendak untuk bebas.
Melalui kehendak untuk hidup, umat manusia selalu berusaha keras untuk menjamin
kebutuhan makan, perumahan dan apa saja yang berkaitan dengan pemeliharaan
hidup. Penghapusan perbudakan mungkin baik sebagai contoh pertama dari
penerimaan hak-hak asasi internasional sebagai suatu batasan terhadap
jurisdiksi domestik. An-Na’im menegaskan disini dengan alasan bahwa pandangan
syari’ah yang membatasi hak asasi manusia dibenarkan oleh konteks historis,
tetapi tidak untuk mengatakan bahwa pandangan itu masih dibenarkan karena
konteks historis sekarang sudah berbeda sama sekali. Hukum Islam modern tidak
dapat mengesampingkan konsep hak-hak asasi manusia mutakhir jika ia harus
diterapkan sekarang.
2.
Pemikiran Fazlur Rahman
Kesimpulan
Dalam kajian di atas dapat
disimpulkan bahawa antara kedua tokoh yang disebutkan di atas antara Edward W.
Said dengan Bernard Lewis ada kesamaan pemikiran tentang, budaya Barat dan
Timur akan tetapi kedua tokoh ini berbeda dalam kajiannya Edward W. Said
mengkaji dalam hal Discoursnya sedangkan Bernard Lewis mengkaji reaksi dari Timur
ketika Timur memahami segalanya yang berubah. Dan factor-faktor Timur mengalami
kemunduran.