Minggu, 24 Maret 2013


NAMA           : AhamadMun’im
NIM                : 11350010
PRODI           : AS-b
PEMIKIRAN ABDULLAH AHMAD AN-NA’IM
a.      Metodologi Pemikiran An-Na’im
Reformasi Islam atau dekonstruksi syari’ah yang digagas an-Na’im yang kemudian terkenal ke seluruh penjuru dunia sebagai respon terhadap pemikirannya bermaksud memberikan solusi bagi proses perubahan persepsi, sikap dan kebijakan umat Islam atas dasar-dasar Islam dan bukan sekuler. Tesisnya mengatakan bahwa jika tidak dibangun dasar pembaruan modernis murni yang dapat diterima secara keagamaan, maka umat Islam sekarang dan akan datang hanya punya dua alternative, yaitu mengimplementasikan syari’ah dengan segala kelemahan dalam menjawab dinamika zaman dan masalahnya, atau meninggalkannya dan memilih hukum publik sekuler”[1]Menurut an-Na’im, selama umat Islam tetap setia pada kerangka kerja syari’ah historis, mereka tidak akan pernah benar-benar mencapai tingkat keharusan pembaruan yang mendesak sepaya hukum publik Islam bisa berfungsi sekarang”[2]Selanjutnya an-Na’im mengambil metode gurunya, yaitu metodologi pembaharuan yang revolusioner, yang digambarkan sebagai evolusi legislasi Islam (modern misticalapproach), yang intinya suatu ajakan untuk membangun prinsip penafsiran baru yang memperbolehkan penerapan ayat-ayat al-Qur’an dan Sunnah. Pendekatan ini jika diterapkan akan mampu memecahkan kebuntuan antara tujuan pembaruan, keterbatasan konsep dan teknik syari’ah historis. Prinsip naskh pembatalan teks al-Qur’an dan Sunnah tertentu untuk tujuan-tujuan penetapan hukum oleh teks-teks al-Qur’an dan Sunnah untuk tujuan-tujuan penetapan hukum oleh teks al-Qur’an dan Sunnah yang lain sangat menentukan bagi validitas teoritik dan kelangsungan praktek dari pendekatan evolusioner. Kemudian memadukan teori naskh tersebut dengan prinsip-prinsip umum tentang analisa kongkret terhadap implikasi-implikasi hukum publik Islam. Utamanya terhadap keseimbangan hak-hak muslim dan non-muslim serta laki-laki dan perempuan dalam menentukan nasib sendiri. Inilah harga kemanusian yang tertimbun dalam formulasi teoritik syari’ah tradisional.[3]
An-Na’im mengadopsi teori naskh gurunya dengan alasan bahwa[4]:
1.      Pesan Mekah adalah pesan abadi dan fundamental yang menginginkan egalitarianisme seluruh umat manusia. Karena pesan Mekah ini belum siap diterapkan oleh manusia pada abad ketujuh, maka Allah menurunkan pesan Madinah yang lebih sesuai dengan kondisi zaman waktu itu.
2.      Pemberlakuan teori naskh lama itu tidak permanen, karena jika permanen berarti umat Islam menolak sebagian dari agamanya.
b.      Implementasi Pemikiran An-Na’im
Pemikiran an-Na’im adalah formulasi yang menyeluruh, mencakup struktur politik, sosial, hukum pidana, hukum internasional, dan hak-hak asasi manusia. Dalam bukunya Dekonstruksi Syari’ah an-Na’im lebih memfokuskan pada tiga masalah pokok, yaitu perbudakan, gender dan non-muslim. Dari tiga pokok masalah tersebut dijabarkan dalam beberapa hal, diantaranya berikut ini:
a.      Syari’ah dan Konstitusional Modern
Istilah konstitusionalisme mengimplikasikan pembatasan hukum atas kekuasan penguasa dan pertanggungjawaban politiknya terhadap sekelompok manusia lain.[5] Beberapa ulama telah menyatakan pendangan bahwa karena Tuhan sendiri pembuat undang-undang dalam Islam, maka tidak ada ruang abadi legislasi atau kekuasan legislatif di bawah syari’ah. Hal ini dibantah oleh an-Na’im bahwa pertimbangan manusia harus tetap digunakan dalam menentukan prinsip-prinsip dan aturan-aturan syari’ah yang bisa diterapkan. Baik al-Qur’an maupun Sunnah harus ditafsirkan untuk mengembangkan prinsip-prinsip dan aturan-aturan hukum.
b.      Syari’ah dan Hak Asasi Manusia
Ada suatu prinsip normatif umum yang dimiliki oleh semua tradisi kebudayaan besar yang mampu menopang standar universal hak-hak asasi manusia. Prinsip itu menyatakan bahwa seseorang harus memperlakukan orang lain sama seperti ia mengharapkan diperlakukan orang lain. Aturan yang teramat indah ini mengacu pada prinsip resiprositas yang sesungguhnya dimiliki oleh semua tradisi agama besar di dunia. Selain itu kekuatan moral dan logika dari proposisi yang sederhana ini dapat dengan mudah diapresiasi oleh semua umat manusia, baik tradisi kultural maupun persuasi filosofis.[6] Menurut Taha bahwa prinsip murni dalam Islam adalah kebebasan. Perbudakan bukan ajaran murni Islam. Diskriminasi laki-laki dan perempuan bukan ajaran murni Islam, poligami bukan ajaran murni Islam dan perceraian juga bukan ajaran murni Islam.[7] Problem berkenaan dengan penggunaan prinsip resiprositas dalam konteks ini adalah kecendrungan tradisi kultural, khususnya agama, untuk membatasi penerapan prinsip terhadap keanggotaan tradisi kultural dan agama yang lain, bahkan pada kelompok tertentu dalam tradisi atau agama itu sendiri. Konsepsi prinsip resiprositas historis berdasarkan syari’ah tidak berlaku bagi perempuan dan non-muslim sebagaimana untuk laki-laki muslim. Intinya menurut an-Na’im bahwa hak-hak asasi manusia didasarkan pada kedua kekuatan utama yang memotivasi seluruh tingkah laku manusia, kehendak untuk hidup dan kehendak untuk bebas. Melalui kehendak untuk hidup, umat manusia selalu berusaha keras untuk menjamin kebutuhan makan, perumahan dan apa saja yang berkaitan dengan pemeliharaan hidup. Penghapusan perbudakan mungkin baik sebagai contoh pertama dari penerimaan hak-hak asasi internasional sebagai suatu batasan terhadap jurisdiksi domestik. An-Na’im menegaskan disini dengan alasan bahwa pandangan syari’ah yang membatasi hak asasi manusia dibenarkan oleh konteks historis, tetapi tidak untuk mengatakan bahwa pandangan itu masih dibenarkan karena konteks historis sekarang sudah berbeda sama sekali. Hukum Islam modern tidak dapat mengesampingkan konsep hak-hak asasi manusia mutakhir jika ia harus diterapkan sekarang.[8]



[1]Abdullah Ahmedan-Na’im, Dekonstruksi Syari’ah, terj. AhmedSuaedy dan AmiruddinArrani, (Yogykakarta: LkiS, 1997), hal.21
[2]Ibid., hal69
[3]Ibid., 69-70
[4]Ibid., ix
[5]Ibid., hal.150
[6][6]Ibid., hal. 190
[7]Charles Kurxman, Liberal Islam, New York: Oxford universitypress, 1998, hal. 223
[8]Abdullah Ahmedan-Na’im, Dekonstruksi…, hal. 310-313

ORIENTALISME
{Edward W. Said Dan Bernard Lewis}
Makalah ini guna memenuhi tugas mata kuliah:
Orientalisme




Disusun Oleh:

Ahmad Mun’im
Nim: 11350010
Prodi: As-b

Dosen Pengampu:

NOORHAIDI, DR.,M.PHIL.,PH.D.,S.AG


AL-AHWAL AS-SAHSIYAH
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGRI SUNAN KALI JAGA
YOGYAKARTA
2012
KATA PENGANTAR


Segala puji syukur kehadirat Allah SWT, yang telah memberi taufiq dan hidayahnya kepada kita semua yang mana kita dapat menjalankan kegiatan perkuliahan ini dengan lancer. Tak lupa kita  haturkan solawat serta salam kpada junjungan kita Nabi Agung Muhammad SAW, yang telah menunjukan kita dari jalan kegelapan menuju jalan terang benderang yaitu Addinul Islam.

Alhamdulillah pada kesempatan kali ini, saya dapat menyelesaikan tugas mata kuliah Orientalisme dengan judul Orientalisme (Edward W. Said dan Bernard Lewis) yang mana tugas ini guna memenuhi tugas UTS yang disampaikan Oleh dosen pengampu Bapak.Noorhaidi, DR.,M.PHIL.,PH.D.,S.AG. mungkiln dalam hal ini banyak kekurangan dalam memenuhi tugas tersebut, karena saya sebagai manusia biasa pasti mempunyai kekurangan dalam segala hal, termasuk menyelesaikan tugas ini.

Saya ucapkan banyak terima kasih kepada Bapak dosen pengampu mata kuliah Orientalisme Bapak Noorhaidi, DR.,M.PHIL.,PH.D.,S.AG, yang telah membimbing saya untuk memahami matakuliah ini, dan saya ucapakan banyak terimakasih kepada sahabat-sahabat yang telah memberi dukungan dan dorongan untuk tetap semangat  dalam menyeselaikan tugas ini dengan semaksimal mingkin.

Mungkin hanya ini yang dapat saya sampaikan kurang lebihnya saya sebagai manisa biasa mohon maaf sebanyak-banyaknya sekian dan terimakasih  atas perhatian dan waktunya untuk memberi kesempatan dalam memebrikan tugas kepada saya.



Penulis, 17 November 2012

 Yogyakarta







BAB I
Pendahuluan


Dalam bukunya Edward W. Said menegaskan bahwa dengan hanya mengkaji teks-teks Orientalis melalui oprasi diskursif yang berlangsung di dalamnya, kita bisa menyingkap relasi idiologis yang terdapat dalam Orientalisme. dengan meminjam teori Michel Foucault sebagai pisau bedah, said membagi empat jenis relasi kekuasaan yang hidup dalam wacana Orientalisme: kekuasaan politis (pembentuakn kolonialisme dan imperialisme); kekuasaan intelektual (mendidik timur melalui sains, linguistic, dan pengeatahuan lain); kekuasaan kultural (kolonialisasi selera, teks, dan nilai-nilai, misalnya timur memiliki estetika colonial, yang secara muda bisa ditemukan di india, mesir dan Negara-negara bekas colonial lain); serta kekusaan moral(apa yang baik dilakukan dan tidak dilakukan oleh timur).

Dalam buku lain dikatakan  selama berabad-abad, dunia islam pernah menempati posisi yang sangat penting dalam peradaban manusia, baik dalam hal kekutan militer dan perekonomian. Islam juga pernah menjadi pelopor dalam dunia seni dan ilmu pengetahuan. Sementara itu, pada saat bersamaan umat Kristen Eropa, negara islam, sedang mengalami masa kegelapan  yang ditandai dengan prilaku barbar dan tidak kepercayaan terhadap tuhan sehingga mereka dipandang sebagai kekuatan yang patut disegani. Namun kemudian segalanya berubah,ketika barat yang dulunya dianggap lemah mulai memperoleh kemenangan di medan perang dan di dunia perdagangan, sampai dengan kemenangan di hampir setiap aspek  kehidupan masyarakat dan bahkan kehidupan pribadi. Dalam buku yang sangat menarik ini, Bernard Lewis mengkaji berbagai reaksi umat islam ketika mereka berusaha memahami mengapa segalanya berubah, mengapa mereka dapat dikalahkan dan semakin didominasi oleh barat.

Dalam hal ini selanjutnya akan dibahas secara global mengenai pandangan dunia barat dan timur berdasarkan pemikiran-pemikiran, tokoh-tokoh orientalis lebih hususnya pemikiran antara Edward W. Said dalam bukunya Orientalisme dan Bernad Lewis dalam bukunya “Apa Yang Salah”.






BAB II
Pembahasan


A.    Biografi Edward W. Said

Edward W. Said lahir di tanah Yerussalem pada 1 November 1935, tepatnya didaerah Talbiyah (sebuah kawasan terpencil di Palestina Barat) Said harus mengungsi ke Mesir Pasca-kekalahan Palestinapada 1947, dan kemudian menjadi imigran di amerika serikat pada 1951. Semenjak lahir Said memang tak pernah lepas dari paradox identitas. Hidup di lingkungan Palestina yang nyaris berpenduduk muslim, dengan nama depan (Edward) berasal dari Inggris dan nama belakang (Said) dari Arab, serta nama tengah (Wadie) dengan nama sang ayah berbisnis dikairo, namun lebih senang dianggap sebagai orang Amerika, membuat said selalu merasa sebaga” yang lain”, yang berjuang untuk  tidak menjadi “ Edward” ciptaan ayahnya, tidak perlu menjadi “Said” ciptaan Amerika yng tak pernah jelas genealoginya, apalagi menjadi seorang “Wadie” yang selalu memakskan aturan hidup kepadanya.

Said meninggal pada hari kamis, 25 September 2003, di rumah sakit New York, tepat usianya yang ke-67. Penyakit leukemia akut yang dideritanya sejak 1992 membuat Said harus berjuan sendirian, persis ketika ia memperjuangkan masalah yang sama kronisnya sejak lebih dari dua decade perjalanan kariernya sebagai seorang intelektual; masalah Palestina.
Meski demikian, empat bulan sebelum menghembuskan nafas terahirnya, Mei 2003 Said masih sempat menulis prolog untuk buku Orientalisme (1978).

B.     Pemikran Edward W. Said
Said adalah seorang diaspora, yang melewatkan sebagian besar hidupnya sebagai manusia yang terasing dari tanah airnya sendiri. Jejak-jejak diaspora ini dalam memoir Said yang ditulisnya sejak 1967-1994, Out Of Place (1999).
Tahun 1967, ketika bangsa Arab dikalahkan oleh Israel, “ keterasingan itu semakin terasa, apalagi pada saat itu Said tengah berda di Amerika Serikat yang pro-Israel.
Tahun 1968, setelah terbentuknya Organisasi Pembebasan Palestina, Said memutuskan untuk tidak membedakan antara” yang pribadi” dengan “ yang politik.” Keputusan inilah yang kemudian membakar Said untuk menulis kajian yang subversive tentang representasi Timur dan Barat.
Tahun 1970-an, ketika teori-teori tinggi prancis mulai masuk ke Dunia Anglo-Saxon, kajian pascakolonial mulai terlambangkan oleh Said untuk menulis momen paling menentukan yang dimanfaatkan oleh Said untuk menulis Orientalisme.Dari sekitar 25 buku yang terlahir dari tangannya, Orientalisme mungkin tergolong yang paling fenomenal.
Said memang bukan satu-satunya pemikir yang melopori kajian pascakolonial. Sebelumnya, Aime Casaire dan frantz Fanon telah melakukan hal yang sama, masing-masing, dengan bukunya From Discourse on Coloniaalism (1995) dan the Fact of Blackness (1952). Akan tetapi, kajian yang pertama yang mengkritik idiologi colonial secara diskursif hanyalah buku Orientalinsya Said.
Bagi Said, hanya dengan mengkaji teks-teks orientalis melalui oprasi diskursif yang berlangsung di dalamnya, kita bisa menyingkap relasi idiologis yang terdapat dalam orientalisme.
Kajian Orientalis yang dibedah Said secara umum banyak berutang budi pada dua intelektual kenamaan, Michael Foucault dan Antonio Gramsci, dengan menggunakan teori discourse Foucault, Said mengangkat pertanyan-pertanyaan tentang relasi kekuasaan yang melatari representasi Timur dalam Geneologi Orientalisme. Bagi Said , Orientalisme merupakn sebuah diskursus yang tidak berkaitan dengan satu kekuasaan politis saja melainkan dihasilkan melalui satu ajang pertukaran melalui jenis kekuasaan.
Said membagi empat jenis relasi kekuasaan yang hidup dalam  wacana orientalisme: kekuasaan politis (pembentuakn kolonialisme dan imperialisme); kekuasaan intelektual (mendidik timur melalui sains, linguistic, dan pengeatahuan lain); kekuasaan kultural (kolonialisasi selera, teks, dan nilai-nilai, misalnya timur memiliki estetika colonial, yang secara muda bisa ditemukan di india, mesir dan Negara-negara bekas colonial lain); serta kekusaan moral(apa yang baik dilakukan dan tidak dilakukan oleh timur).
Relasi ini, menurut said, beroprasi berdasarkan model idiologi yang disebut Antonio Gramsci sebagai Hegomoni-satu pandangan bahwa gagasan tertentu lebih berpengaruh dari gagasan lain, sehingga kebudayaan tertentu lebih dominan dari kebudayaan-kebudayaan lain. Bagi said orientalisme pada hakikatnya tak lebih sebagai bentuk “legitimasi” atas superioritas kebudayaan barat terhadap inferioritas kebudayaan timur. Said lalu menyebut “ hegomoni kultural” sebagai praktik tak berkesesudahan yang berlangsung dalam wacana orientalisme.
Representasi, setidaknya, menjadi salah satu konsep kunci dalm buku Orientalisme. Untuk itulah, dalam epiloginya yang ditulis pada 1994 dan diulangi kembali pada salah satui kesempatan pada wawancaranya dalam Power, Politics, and Culture (2001), banyak orang yang menganggap dirinya sebagai, jika tidak “anti-Barat.” Selalu “pendukung fundamentalisme Islam.

C.     Biografi Bernard Lewis
Bernad Lewis Lahir di London, 31 Mei1916. Bernard adalah sejarawan YahudiInggris-Amerika yang menjabat sebagai Profesor Kehormatan bidang Timur Tengah di Universitas Princeton.Bernard mendalami sejarah Islamserta  interaksi kebudayaan Barat dan Islam. Dia dikenal karena karyanya tentang sejarah Kekhalifahan Utsmaniyah dan debat intelektual saya dengan Profesor Edward Said tentang konflik Israel-Palestina. Bernard merupakan ahli di bidang Timur Tengah, dan merupakan penasihat presiden George W. Bush dalam Perang Irak.
Bernard Lewis adalah sorang guru besar dalam bidang kajian Timur dekat di Princeton University, sebagai orang yang sangat ahli dalam sejarah Timur Tengah, ia pernah menulis  lebih dari duabelas buku. Beberapa buku karya Bernard Lewis yang paling laris diantaranya adalahThe Arab in History, The Emergence of Modern Turkey, The Political Language of Islam, The Muslim Discovery of Europe dan The Middle East: A Brief History of  The last 2000 Years.

D.    Pandangan Bernard Lewis Terhadap Kemunduran Umat Islam
selama berabad-abad, dunia islam pernah menempati posisi yang sangat penting dalam peradaban manusia, baik dalam hal kekutan militer dan perekonomian. Islam juga pernah menjadi pelopor dalam dunia seni dan ilmu pengetahuan. Sementara itu, pada saat bersamaan umat Kristen Eropa, negara islam, sedang mengalami masa kegelapan  yang ditandai dengan prilaku barbar dan tidak kepercayaan terhadap tuhan sehingga mereka dipandang sebagai kekuatan yang patut disegani. Namun kemudian segalanya berubah,ketika barat yang dulunya dianggap lemah mulai memperoleh kemenangan di medan perang dan di dunia perdagangan, sampai dengan kemenangan di hampir setiap aspek  kehidupan masyarakat dan bahkan kehidupan pribadi. Dalam buku yang sangat menarik ini, Bernard Lewis mengkaji berbagai reaksi umat islam ketika mereka berusaha memahami mengapa segalanya berubah, mengapa mereka dapat dikalahkan dan semakin didominasi oleh barat.
Bernard Lewis mengkaji berbagai reaksi umat islam ketika mereka berusaha memahami mengapa segalanya berubah, mengapa mereka dapat dikalahkan dan semakin didominasi oleh barat. Lewis memberikan gambaran yang sangat gambling mengenai budaya islam yang sedang mengalami kegamangan. Ia menunjukan bagaimana bangsa Timur Tengah pernah menjadikan Eropa sebgai rujukan untuk mempelajari berbbagai hal seperti  persenjataan dan setrategi militer, prdagangan dan industry, pemerintahan dan diplomasi, serta pendidikan dan budaya.
Lewis menjelaskan perbedaan yang mencolok  antara budaya Barat dan Timur Tengah abad XVIII sampai abad XX dengan memaparkan perbandingan-perbandingan yang provokatif tentang persoalan-persoalan yang berkaitan dengan Kristen dan islam, musik dan seni posisi perempuan sekularisme, masyarakat sipil, serta jam dan kalender.
Dalam penjelasan berikutnya akan dipaparkan dengan wawancara imajiner antara Penulis dengan Bernard Lewis

E.     Wawancara Imajiner bersama  Bernard Lewis

Penulis     :  menurut  anda bagaimna  tentang dunia timur, dan dimana letak perbedaan antara timur dengan barat?
Bernard   :Orang Arab/Islam/Turki tidak tertarik dengan peradaban lain, berbeda dengan para Orientalist Eropa. Sepanjang sejarahnya, bangsa Arab (Turki termasuk) tidak melakukan kajian-kajian luar Peradaban (kecuali penerjamahan filsafat Greek yang kemudian sangat membantu transmisi), dan juga tidak tertarik belajar tentang bahasa dan peradaban yang mereka kuasai (Afrika, Eropa, Asia). Saya melihat dikotomi Arab/Islam/Turki Usmani dan Erope/Barat sebagai berbeda secara diametral. Sejarah menunjukan kondisi diametral itu. Ada "karakter" historis bangsa Arab yang menyebabkan perkembangan kajian di dunia Arab tidak maju, berbeda dengan bangsa Eropa dan sekarang AS. Jika anda menginginkan penjelasan lebih detail silahkan baca karya saya yang berjudul Apa Yang Salah? Di sana saya beberkan sebab-sebab runtuhnya khilafah dan kemunduran umat islam berdasarkan sejarah yang tertulis dan bukti-buktinya.
Penulis: dalam karya anda saya menbaca sedikit penjelsan anda bahwa sepanjang abad XX umat islam banyak melakukan kesalahan-kesalahan dalam suatu hal?
Bernard: Sepanjang abad XX, sangat jelas terlihat bahwa si timur tengah dan bahkan di seluruh wilayah islam banyak hal yang berlangsung dengan cara yang benar-benar salah. Di bandingkan dengan Kristen, dunia islam menjadi miskin, lemah dan terbelakang. Selama abad XIX dan XX, keunggulan dan dominasi barat semakin jelas terlihat dan mempengaruhi kalangan muslim dalam setiap aspek kehidupan public dan bahkan, lebih parah lagi dalm aspek kehidupan pribadi
Penulis : apa tidak ada upaya para orang-orang muslim dalam menyikapi masalah itu?
Bernard   :Ada sebagian para pendukung modernisasi dengan melakukan reformasi atau revolusi mengkonsentrasikan upaya-upaya meraka dalam tiga bidang pokok yakni militer, ekonomi dan politik hasil hasil yang di capinya sangtlah mengecewakan. Upaya untuk mencapai kejayaan dengan memoderenkan militer. Ternyata membawa serangkaian kekalahan yang memalukan. Upaya untuk  memperoleh kekayaan melalui pembanguna malah membuat Negara-negara menjadi miskin dan menciptakan system perekonomian yang korup yang terus-menerus membutuhkan bantuan luar negri.
Penulis : apakah pola hubungan antara timur dan barat di sebabkan kemunduran dari timur tengah?
Bernard   :Kalau saya menganalisis argumen yang biasanya sering di jadikan dalil adalah bahwa berubahnya pola hubungan antara Timur dan Barat bukanlah kemunduran Timur Tengah tetapi bangkitnya Barat, yang ditandai dengan adanya penemuan, gerakan ilmu pengetahuan, revolusi teknologi, industry dan politik yang telah mengubah Barat dan meningkatkan kekayaan dan kekuasaanya. Tetapi perbandingan ini tidak menjawab pertanyaan-pertanyaan yang sesungguhnya; perbandingan tersebut hanya menyatakan kembali kenapa para penemu Amerika mulai berlayar dari Spanyol dan bukan dari pelabuhan atlantik yang di kuasai muslim.
Penulis: Dalam karya anda ini “Apa Yang salah” ada pertanyaan, kenapa trobosan ilmu pengetahuan yang luar biasa terjadi di eropa yang bukannya di tanah-tanah islam yang masarakatnya lebih kaya, maju dan dalam banyak hal yang terdidik? Bukannya itu emng dalam islam itu seperti itu menurut anda bagaimna?
Bernard   :Sikap menyalahkan ini salah satunya malah mengarah pada kondisi masyarakat islam sendiri da ukan pada masyarakat luar islam. Hal yang di slahkan dalam hal ini aalah agama, khususnya islam. Namun, menyalahkan islam sangatlah berbahaya dan jarang sekali dilakukan hal ini juga sangat dilarang. Di abad pertengahan, bukan budaya timur yang kuno ataupun budaya barat yg baru yang menjadi pusat peradaban dan kemajuan yang utama. Akan tetapi dunia islamlah yang memainkan peranan sentral tersebut.
Penulis     :  menurut anda apakah ada pengaruh dalam dunia arab dari bangsa lain baik itu dari segi politik atau ekonomi dll?
Bernard   :Ada pngarauh dari bangsa lain yaitu pada masa dominasi inggris adan prancis di kebanyakan dunia arab pada abad XIX dan XX memunculkan kambing hitam yang lebih hebat lagi, yakni penjajahan barat di timur tengah selalu ada alasan untuk selalu  membuat tuduhan semacam itu. Dominasi politik, penetrasi ekonomi dan utamnya pengaruh budaya barat, telah mengubah wajah kawasan tersebut dan mentransformasi kehidupan masyarakatnya, dengan membawa mereka kearah kehidupan lain, dengan membangkitkan harapan dan rasa takut baru, dan dengan menciptakan resiko dan pengharapan baru yang belum pernah mereka alami.


BAB III
PEMIKIRAN TOKOH ISLAM KONTEMPORER

1.   Pemikiran Abdullah ahmad An-Na’im (Dekonstruksi Syari’ah)
a.      Metodologi Pemikiran An-Na’im
Reformasi Islam atau dekonstruksi syari’ah yang digagas an-Na’im yang kemudian terkenal ke seluruh penjuru dunia sebagai respon terhadap pemikirannya bermaksud memberikan solusi bagi proses perubahan persepsi, sikap dan kebijakan umat Islam atas dasar-dasar Islam dan bukan sekuler. Tesisnya mengatakan bahwa jika tidak dibangun dasar pembaruan modernis murni yang dapat diterima secara keagamaan, maka umat Islam sekarang dan akan datang hanya punya dua alternative, yaitu mengimplementasikan syari’ah dengan segala kelemahan dalam menjawab dinamika zaman dan masalahnya, atau meninggalkannya dan memilih hukum publik sekuler”[1]Menurut an-Na’im, selama umat Islam tetap setia pada kerangka kerja syari’ah historis, mereka tidak akan pernah benar-benar mencapai tingkat keharusan pembaruan yang mendesak sepaya hukum publik Islam bisa berfungsi sekarang”[2]Selanjutnya an-Na’im mengambil metode gurunya, yaitu metodologi pembaharuan yang revolusioner, yang digambarkan sebagai evolusi legislasi Islam (modern misticalapproach), yang intinya suatu ajakan untuk membangun prinsip penafsiran baru yang memperbolehkan penerapan ayat-ayat al-Qur’an dan Sunnah. Pendekatan ini jika diterapkan akan mampu memecahkan kebuntuan antara tujuan pembaruan, keterbatasan konsep dan teknik syari’ah historis. Prinsip naskh pembatalan teks al-Qur’an dan Sunnah tertentu untuk tujuan-tujuan penetapan hukum oleh teks-teks al-Qur’an dan Sunnah untuk tujuan-tujuan penetapan hukum oleh teks al-Qur’an dan Sunnah yang lain sangat menentukan bagi validitas teoritik dan kelangsungan praktek dari pendekatan evolusioner. Kemudian memadukan teori naskh tersebut dengan prinsip-prinsip umum tentang analisa kongkret terhadap implikasi-implikasi hukum publik Islam. Utamanya terhadap keseimbangan hak-hak muslim dan non-muslim serta laki-laki dan perempuan dalam menentukan nasib sendiri. Inilah harga kemanusian yang tertimbun dalam formulasi teoritik syari’ah tradisional.[3]
An-Na’im mengadopsi teori naskh gurunya dengan alasan bahwa[4]:
1.      Pesan Mekah adalah pesan abadi dan fundamental yang menginginkan egalitarianisme seluruh umat manusia. Karena pesan Mekah ini belum siap diterapkan oleh manusia pada abad ketujuh, maka Allah menurunkan pesan Madinah yang lebih sesuai dengan kondisi zaman waktu itu.
2.      Pemberlakuan teori naskh lama itu tidak permanen, karena jika permanen berarti umat Islam menolak sebagian dari agamanya.
b.      Implementasi Pemikiran An-Na’im
Pemikiran an-Na’im adalah formulasi yang menyeluruh, mencakup struktur politik, sosial, hukum pidana, hukum internasional, dan hak-hak asasi manusia. Dalam bukunya Dekonstruksi Syari’ah an-Na’im lebih memfokuskan pada tiga masalah pokok, yaitu perbudakan, gender dan non-muslim. Dari tiga pokok masalah tersebut dijabarkan dalam beberapa hal, diantaranya berikut ini:
a.      Syari’ah dan Konstitusional Modern
Istilah konstitusionalisme mengimplikasikan pembatasan hukum atas kekuasan penguasa dan pertanggungjawaban politiknya terhadap sekelompok manusia lain.[5] Beberapa ulama telah menyatakan pendangan bahwa karena Tuhan sendiri pembuat undang-undang dalam Islam, maka tidak ada ruang abadi legislasi atau kekuasan legislatif di bawah syari’ah. Hal ini dibantah oleh an-Na’im bahwa pertimbangan manusia harus tetap digunakan dalam menentukan prinsip-prinsip dan aturan-aturan syari’ah yang bisa diterapkan. Baik al-Qur’an maupun Sunnah harus ditafsirkan untuk mengembangkan prinsip-prinsip dan aturan-aturan hukum.
b.      Syari’ah dan Hak Asasi Manusia
Ada suatu prinsip normatif umum yang dimiliki oleh semua tradisi kebudayaan besar yang mampu menopang standar universal hak-hak asasi manusia. Prinsip itu menyatakan bahwa seseorang harus memperlakukan orang lain sama seperti ia mengharapkan diperlakukan orang lain. Aturan yang teramat indah ini mengacu pada prinsip resiprositas yang sesungguhnya dimiliki oleh semua tradisi agama besar di dunia. Selain itu kekuatan moral dan logika dari proposisi yang sederhana ini dapat dengan mudah diapresiasi oleh semua umat manusia, baik tradisi kultural maupun persuasi filosofis.[6] Menurut Taha bahwa prinsip murni dalam Islam adalah kebebasan. Perbudakan bukan ajaran murni Islam. Diskriminasi laki-laki dan perempuan bukan ajaran murni Islam, poligami bukan ajaran murni Islam dan perceraian juga bukan ajaran murni Islam.[7] Problem berkenaan dengan penggunaan prinsip resiprositas dalam konteks ini adalah kecendrungan tradisi kultural, khususnya agama, untuk membatasi penerapan prinsip terhadap keanggotaan tradisi kultural dan agama yang lain, bahkan pada kelompok tertentu dalam tradisi atau agama itu sendiri. Konsepsi prinsip resiprositas historis berdasarkan syari’ah tidak berlaku bagi perempuan dan non-muslim sebagaimana untuk laki-laki muslim. Intinya menurut an-Na’im bahwa hak-hak asasi manusia didasarkan pada kedua kekuatan utama yang memotivasi seluruh tingkah laku manusia, kehendak untuk hidup dan kehendak untuk bebas. Melalui kehendak untuk hidup, umat manusia selalu berusaha keras untuk menjamin kebutuhan makan, perumahan dan apa saja yang berkaitan dengan pemeliharaan hidup. Penghapusan perbudakan mungkin baik sebagai contoh pertama dari penerimaan hak-hak asasi internasional sebagai suatu batasan terhadap jurisdiksi domestik. An-Na’im menegaskan disini dengan alasan bahwa pandangan syari’ah yang membatasi hak asasi manusia dibenarkan oleh konteks historis, tetapi tidak untuk mengatakan bahwa pandangan itu masih dibenarkan karena konteks historis sekarang sudah berbeda sama sekali. Hukum Islam modern tidak dapat mengesampingkan konsep hak-hak asasi manusia mutakhir jika ia harus diterapkan sekarang.[8]

2.   Pemikiran Fazlur Rahman

Kesimpulan

Dalam kajian di atas dapat disimpulkan bahawa antara kedua tokoh yang disebutkan di atas antara Edward W. Said dengan Bernard Lewis ada kesamaan pemikiran tentang, budaya Barat dan Timur akan tetapi kedua tokoh ini berbeda dalam kajiannya Edward W. Said mengkaji dalam hal Discoursnya sedangkan Bernard Lewis mengkaji reaksi dari Timur ketika Timur memahami segalanya yang berubah. Dan factor-faktor Timur mengalami kemunduran.

















[1]Abdullah Ahmedan-Na’im, Dekonstruksi Syari’ah, terj. AhmedSuaedy dan AmiruddinArrani, (Yogykakarta: LkiS, 1997), hal.21
[2]Ibid., hal69
[3]Ibid., 69-70
[4]Ibid., ix
[5]Ibid., hal.150
[6][6]Ibid., hal. 190
[7]Charles Kurxman, Liberal Islam, New York: Oxford universitypress, 1998, hal. 223
[8]Abdullah Ahmedan-Na’im, Dekonstruksi…, hal. 310-313