NAMA :
AhamadMun’im
NIM :
11350010
PRODI :
AS-b
a. Metodologi Pemikiran An-Na’im
Reformasi Islam atau dekonstruksi syari’ah
yang digagas an-Na’im yang kemudian terkenal ke seluruh penjuru dunia sebagai
respon terhadap pemikirannya bermaksud memberikan solusi bagi proses perubahan
persepsi, sikap dan kebijakan umat Islam atas dasar-dasar Islam dan bukan
sekuler. Tesisnya mengatakan bahwa jika tidak dibangun dasar pembaruan modernis
murni yang dapat diterima secara keagamaan, maka umat Islam sekarang dan akan
datang hanya punya dua alternative, yaitu mengimplementasikan syari’ah dengan
segala kelemahan dalam menjawab dinamika zaman dan masalahnya, atau
meninggalkannya dan memilih hukum publik sekuler”[1]Menurut
an-Na’im, selama umat Islam tetap setia pada kerangka kerja syari’ah historis,
mereka tidak akan pernah benar-benar mencapai tingkat keharusan pembaruan yang
mendesak sepaya hukum publik Islam bisa berfungsi sekarang”[2]Selanjutnya
an-Na’im mengambil metode gurunya, yaitu metodologi pembaharuan yang
revolusioner, yang digambarkan sebagai evolusi legislasi Islam (modern
misticalapproach), yang intinya suatu ajakan untuk membangun prinsip
penafsiran baru yang memperbolehkan penerapan ayat-ayat al-Qur’an dan Sunnah.
Pendekatan ini jika diterapkan akan mampu memecahkan kebuntuan antara tujuan
pembaruan, keterbatasan konsep dan teknik syari’ah historis. Prinsip naskh pembatalan
teks al-Qur’an dan Sunnah tertentu untuk tujuan-tujuan penetapan hukum oleh
teks-teks al-Qur’an dan Sunnah untuk tujuan-tujuan penetapan hukum oleh teks
al-Qur’an dan Sunnah yang lain sangat menentukan bagi validitas teoritik dan
kelangsungan praktek dari pendekatan evolusioner. Kemudian memadukan
teori naskh tersebut dengan prinsip-prinsip umum tentang
analisa kongkret terhadap implikasi-implikasi hukum publik Islam. Utamanya
terhadap keseimbangan hak-hak muslim dan non-muslim serta laki-laki dan
perempuan dalam menentukan nasib sendiri. Inilah harga kemanusian yang
tertimbun dalam formulasi teoritik syari’ah tradisional.[3]
An-Na’im mengadopsi teori naskh gurunya
dengan alasan bahwa[4]:
1. Pesan Mekah adalah pesan abadi dan fundamental yang
menginginkan egalitarianisme seluruh umat manusia. Karena pesan Mekah ini belum
siap diterapkan oleh manusia pada abad ketujuh, maka Allah menurunkan pesan
Madinah yang lebih sesuai dengan kondisi zaman waktu itu.
2. Pemberlakuan teori naskh lama itu
tidak permanen, karena jika permanen berarti umat Islam menolak sebagian dari
agamanya.
b. Implementasi Pemikiran An-Na’im
Pemikiran an-Na’im adalah formulasi yang
menyeluruh, mencakup struktur politik, sosial, hukum pidana, hukum
internasional, dan hak-hak asasi manusia. Dalam bukunya Dekonstruksi
Syari’ah an-Na’im lebih memfokuskan pada tiga masalah pokok, yaitu
perbudakan, gender dan non-muslim. Dari tiga pokok masalah tersebut dijabarkan
dalam beberapa hal, diantaranya berikut ini:
a. Syari’ah dan Konstitusional Modern
Istilah konstitusionalisme
mengimplikasikan pembatasan hukum atas kekuasan penguasa dan pertanggungjawaban
politiknya terhadap sekelompok manusia lain.[5] Beberapa
ulama telah menyatakan pendangan bahwa karena Tuhan sendiri pembuat
undang-undang dalam Islam, maka tidak ada ruang abadi legislasi atau kekuasan
legislatif di bawah syari’ah. Hal ini dibantah oleh an-Na’im bahwa pertimbangan
manusia harus tetap digunakan dalam menentukan prinsip-prinsip dan
aturan-aturan syari’ah yang bisa diterapkan. Baik al-Qur’an maupun Sunnah harus
ditafsirkan untuk mengembangkan prinsip-prinsip dan aturan-aturan hukum.
b. Syari’ah dan Hak Asasi Manusia
Ada suatu prinsip normatif umum yang
dimiliki oleh semua tradisi kebudayaan besar yang mampu menopang standar
universal hak-hak asasi manusia. Prinsip itu menyatakan bahwa seseorang
harus memperlakukan orang lain sama seperti ia mengharapkan diperlakukan orang
lain. Aturan yang teramat indah ini mengacu pada prinsip resiprositas yang
sesungguhnya dimiliki oleh semua tradisi agama besar di dunia. Selain itu
kekuatan moral dan logika dari proposisi yang sederhana ini dapat dengan mudah
diapresiasi oleh semua umat manusia, baik tradisi kultural maupun persuasi
filosofis.[6] Menurut
Taha bahwa prinsip murni dalam Islam adalah kebebasan. Perbudakan bukan ajaran
murni Islam. Diskriminasi laki-laki dan perempuan bukan ajaran murni Islam,
poligami bukan ajaran murni Islam dan perceraian juga bukan ajaran murni Islam.[7] Problem
berkenaan dengan penggunaan prinsip resiprositas dalam konteks ini adalah
kecendrungan tradisi kultural, khususnya agama, untuk membatasi penerapan
prinsip terhadap keanggotaan tradisi kultural dan agama yang lain, bahkan pada
kelompok tertentu dalam tradisi atau agama itu sendiri. Konsepsi prinsip
resiprositas historis berdasarkan syari’ah tidak berlaku bagi perempuan dan
non-muslim sebagaimana untuk laki-laki muslim. Intinya menurut an-Na’im bahwa
hak-hak asasi manusia didasarkan pada kedua kekuatan utama yang memotivasi
seluruh tingkah laku manusia, kehendak untuk hidup dan kehendak untuk bebas.
Melalui kehendak untuk hidup, umat manusia selalu berusaha keras untuk menjamin
kebutuhan makan, perumahan dan apa saja yang berkaitan dengan pemeliharaan
hidup. Penghapusan perbudakan mungkin baik sebagai contoh pertama dari
penerimaan hak-hak asasi internasional sebagai suatu batasan terhadap
jurisdiksi domestik. An-Na’im menegaskan disini dengan alasan bahwa pandangan
syari’ah yang membatasi hak asasi manusia dibenarkan oleh konteks historis,
tetapi tidak untuk mengatakan bahwa pandangan itu masih dibenarkan karena
konteks historis sekarang sudah berbeda sama sekali. Hukum Islam modern tidak
dapat mengesampingkan konsep hak-hak asasi manusia mutakhir jika ia harus
diterapkan sekarang.[8]
[1]Abdullah Ahmedan-Na’im, Dekonstruksi
Syari’ah, terj. AhmedSuaedy dan AmiruddinArrani, (Yogykakarta: LkiS,
1997), hal.21
Tidak ada komentar:
Posting Komentar