Selasa, 02 April 2013


ZAKAT FITRAH

Makalah ini guna memenuhi tugas mata kuliah:
Hukum Zakat




Disusun Oleh:

Ahmad Mun’im

Nim: 11350010
Prodi: As-a

Dosen Pengampu:

Abd. Madjid As


AL-AHWAL AS-SAHSIYAH
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGRI SUNAN KALI JAGA
YOGYAKARTA
2013
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Y.M.E atas limpahan rahmat dan karunia-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Zakat Fitrah”  ini dengan lancar. Penulisan makalah ini bertujuan untuk memenuhi salah satu tugas yang diberikan oleh dosen pengampu matakuliah Hukum Zakat Bpk. Abd. Majid AS
Makalah ini ditulis dari hasil penyusunan data-data sekunder yang penulis peroleh dari buku panduan yang berkaitan dengan Zakat Fitrah , tak lupa penyusun ucapkan terima kasih kepada pengajar matakuliah Hukum Zakat, atas bimbingan dan arahan dalam penulisan makalah ini. Juga kepada rekan-rekan mahasiswa yang telah mendukung sehingga dapat diselesaikannya makalah ini.
Penulis harap, dengan membaca makalah ini dapat memberi manfaat bagi kita semua, dalam hal ini dapat menambah wawasan kita mengenai Zakat Fitrah suatu hukum syar’i, khususnya bagi penulis. Memang makalah ini masih jauh dari sempurna, maka penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca demi perbaikan menuju arah yang lebih baik                

                                                                     Yogyakarta, 27 March, 2013
                                                                                                            Penyusun


DAFTAR ISI
Halaman
COVER .................................................................................................................... i
KATA PENGANTAR ............................................................................................. 1
DAFTAR ISI ............................................................................................................ 2
BAB I PENDAHULUAN....................................................................................... 3
A.  Latar Belakang Permasalahn................................................................................ 3
B.  Rumusan Masalah ............................................................................................... 4
C.  Tujuan                                                                                                                   4
BAB II PEMBAHASAN ........................................................................................ 5
A.  Pengertian Zakat Fitrah........................................................................................ 5
B.  Hokum Zakat Fitrah ............................................................................................ 6
C.  Hikmah di Syariatkannya Zakat Fitrah................................................................ 7
D.  Syarat Wajib Zakat Fitrah ................................................................................... 7
E.   Kadar Dan Bentuk Zakat Fitrah  ........................................................................ 8
F.   Mustahik Zakat Fitrah.......................................................................................... 8
G.  Waktu Pelaksanaan Zakat Fitrah......................................................................... 12
BAB III KESIMPULAN......................................................................................... 14
Daftar pustaka ..................................................................................................... 15








BAB I
PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang

خذ من أموالهم صدقة تطهرهم وتزكيهم بها وصل عليهم إن صلاتك سكن لهم والله سميع عليم

Artinya:
Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka, dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (At-Taubah{9}:103)
Dalam ayat di atas dapat di ambil suatu hokum syar’I tentang masalah zakat, di mana seorang muslim yang mempunyai harta lebih maka wajib di zakati. Dalam permasalahan zakat itu ada beberapa macam zakat, yaitu zakat mal, zakat fitrah dan shadaqah tahawwu’, dan semua ada tata cara pengeluaran tersendiri dan itupun sangat berbeda diantara macam-macam di atas. Dalam hal ini penulis akan lebiih sepisifik membahas zakat yang berupa zakat fitrah atau zakat badan dimana dalam permasalahan zakat fitrah ini sangatlah berbeda dengan zakat-zakat harta yang lainnya, baik itu dari syarat dan rukun, kadar nisab dan haulnya,  dan muzakkinya. Oleh karena itu penulis akan berupanya membahas secara detail sesuai kemampuan penulis dalam mengkaji tentang Hukum Zakat Fitrah. Adapaun penjelasannya akan di jelaskan pada pembahasan yang di tulis di bawah ini.
B.     Rumusan Masalah
a.    Apa yang di maksud dengan zakat fitrah?
b.    Bagaimana hokum mengeluarkan Zakat Fitrah?
c.    Apa di Balik hikmah di syari’atkannya Zakat Fitrah?
d.   Apakah sama tata cara pengeluaran zakat fitrah dengan zakat lainnya?
e.    Siapa sajakah yang wajib mengeluarkan Zakat Fitrah?

C.     Tujuan Penulisan
a.    Uuntuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Zakat.
b.    Untuk mengetahui pengertian, hokum dan tata cara Zakat Fitrah.
c.    Untuk lebih memahami tentang kajian Zakat Fitrah.
d.    Untuk menambah wawasan dalam ilmu pengetuhaun agama.









BAB II
PEMBAHASAN
A.  Pengertian Zakat Fitrah
Badan zakat yang disebut juga dengan zakat fitrah merupakan ciri khas umat islam. Ia disebut zakat fitrah karena diwaibkan atas setiap jiwa. Ibnu Qutaibah mengatakan: yang dimaksud dengan zakat fitrah adalah zakat jiwa yang diambil dari kata “fitrah” yang merupakan asal kejadian.
Dalam penegertian lain zakatul fitri atau yang lebih popular dalam masyarakat dengan istilah zakat fitrah adalah zakat yang harus dikeluarkan oleh setiap muslim baik laki-laki ataupun perempuan, besar ataupun kecil, tua ataupun muda, kaya ataupun miskin di bulan ramadhan sampai menjelang sholat idul fitri.[1]
Zakat fitrah menurut pengertian syara’ adalah zakat yang dikeluarkan oleh seorang muslim dari sebagian hartanya kepada orang-orang yang membutuhkan untuk mensucikan jiwanya serta menambal kekuurangan-kekurangan yang terdapat pada puasanya seperti perkataan yang kotor dan perbuatan yang tidak ada gunanya.[2]
Di riwayatkan dari Ibnu Abbas, ia berkata:
حَدَّثَنَا محمُودُ بنُ خَالِدٍ الدِّمَشْقَيُّ، وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ السَّمْرَقَنْدِيُّ، قَالَا: حَدَّثَنَا مَرْوَانُ، قَالَ عَبْدُ اللَّهِ، حَدَّثَنَا أَبُو يَزِيدَ الْخَوْلَانِيُّ وَكَانَ شَيْخَ صِدْقٍ وَكَانَ ابْنُ وَهْبٍ يَرْوِي عَنْهُ، حَدَّثَنَا سَيَّارُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، قَالَ مَحْمُودٌ الصَّدَفِيُّ، عَنْ عِكْرِمَةَ، عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: " فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ ص م زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ
Artinya: Rasulullah SAW. mewajibkan zakat fitrah untuk mensucikan diri orang puasa dari perbuatan sia-sia (al-laghw) dan perbuatan kotor (ar-rafast), sekaligus untuk memberi makan orang-orang miskin.[3]
B.  Hukum Zakat Fitrah
Jumhur ulama’ dari kalangan salaf dan khalaf sepakat bahwa zakat fitrah hukumnya wajib.[4] Sedangkan Asyhab al-Maliki, Ibnu Labban asy-Syafi’I dan sebagian kalangan dzahiriah berpendapat zakat fitrah hukunnya sunnah. Mereka menyatakan bahwa kata fardhu dalam hadist artinya sebatas bahasa. yang dimaksudkan dalam hadits tersebut adalah arti bahasa. fuqaha Ahnaf mengemukakan pendapat moderat, “hukumnya wajib”. Dan wajib menurut mereka merupakan pertengahan antara fardhu dan sunnah.[5] Dan wajib adalah hokum yang ditegaskan berdasarkan dalil dzanni sedangkan fardhu adalah hokum hokum yang di tegaskan oleh dalil qath’i. zakat fitrah ditegaskan oleh dalil dzanni bukan dalil qath’i.
a.       Landasan hokum zakat fitrah
Al-Quran:
قد أفلح من تزكى
Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan diri (dengan beriman),(Al-A’la{87}:14)
وآتوا الزكاة
dan tunaikanlah zakat (QS.Al-Baqarah{2}:110)
            Hadist Nabi:

حدثنا إسحاق بن موسى الأنصاري حدثنا معن حدثنا مالك عن نافع عن عبد الله بن عمر : أن رسول الله صلى الله عليه و سلم فرض زكاة الفطر من رمضان صاعا من تمر أو صاعا من شعير على كل حر أو عبد ذكر أو أنثى من المسلمين
Bahwa Rasulullah saw mewajibkan dari ramadhan sebesar satu sha’ kurma, atau sha’ gandum, atas setiap orang merdeka maupun budak, laki-laki maupun perempuan, dari kalangan kaum muslimin.[6]
Kata  فرض  adalah ungkapan atau istilah syari’ yang bisa digunakan untuk menunjukan makna wajib. Hal ini lebih dipertegas lagi dengan disertakannya huruf   على yang juga menunjukan makna wajib ketika beliau bersabda على كلّ  حرّ (atas setiap orang yang merdeka). Selain itu riwayat-riwayat yang sahih juga menggunakan redaksi: “Rasulullah memerintahkan”, dan kata “memerintahkan”, secara dzahir juga bemakna wajib.[7]

C.  Hikmah Disyariatkannya Zakat Fitrah
Menurut pendapat yang mashur, zakat fitrah disyariatkan pada bulan ramadhan tahun 2. Adapun hikmah diwajibkan zakat ini adalah untuk mensucikan orang yang berpuasa dari perkataan  kotor dan perbuatan sia-sia yang mungkin saja ia lakukan selama puasa. Selain itu, kewajiban zakat fitrah ini merealisasikan makana solidaritas, kasih saying dan berbuat kebaikan pada kaum faqir miskin dengan membahagiakan dan menyenangkan hati mereka sehingga mereka tidak merasakan pahitnya kemiskinan serta mencukupkan mereka dari kebutuhan meminta-minta pada hari ketika umas islam bersenang-senang. Rasulullah Bersabda:

أغنموا عن السؤال فى ذلك اليوم
Buatlah  mereka tidak perlu meminta-minta pada hari itu.[8]

D.    Syarat Wajib Zakat Fitrah
Syarat wajib zakat fitrah antara lain:(1) Islam, (2) adanya kelebihan makanan untuk kebutuhan dan orang-orang yang berada dalam tanggungan nafkahnya pada malam hari raya dan ketika hari raya, dan (3) mendapati bagian akhir ramadhan dan bagian awala bulan syawal.
Zakat fitrah dengan demikian tidak wajib bagi orang kafir di dunia sebab zakat adalah suci mensucikan, sementara orang kafir  tidak termasuk ke dalamnya. Namun jika ia memiliki tangungan untuk membantu seorang muslim(yang berada di bawah tanggungannya), maka ia harus mengeluarkannya atas namanya, dan sudah mencukupkan jika ia mengeluarkannya tanpa niat. Adapun bagi orang murtad, jika ia kembali ke pangkuan islam maka ia wajib zakat fitrah, jika tidak maka dia tidak wajib.[9]

E.     Kadar dan Bentuk Zakat Fitrah
Kadar yang wajib bagi setiap individu dalam zakat fitrah adalah satu Sha’ dari sesuatu yang biasa dimakan oleh penduduk negerei tersebut, baik berupa biji-bijian(padi dan gandum), kurma, anggur dan yang lainnya seperti keju dan susu. Yang menjadi acuan dalam hal ini adalah makanan pokok orang yang dizakatkan, bukan makanan pokok orang yang menzakati, sebab ia sejak awal sudah diwajibkan atasnya kemudian ditanggung oleh si pemberi zakat.
Satu sha’ menurut ijma’ setara dengan 4mud. Atau setara dengan 2,176 kg (lebih kurang 3,5 liter). Takaran ini berlaku untuk jenis biji-bijian yang bersih dari campuran atau ulat atau berubah bau, rasa dan warnanya.

F.      Mustahiq Zakat Fitrah
Al-Qur’an surat At-Taubah ayat 60 menyebutkan ada delapan golongan yang berhak menerima zakat. Mereka adalah fakir, miskin, amil, muallaf, riqab, gharim, sabilillah, dan ibnu sabil.
انما الصدقات للفقراء و المساكين والعاملين عليها والمؤلفة قلوبهم وفى الرقاب والغارمين وفى سبيل الله و ابن السبيل, فريضة من الله والله عليم حكيم.

“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, para amil zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”.
Ayat tersebut dimulai dengan redaksi  innama al shadaqat. Kata shadaqatyang berarti zakat-zakat merupakan bentuk jamak dari kata shadaqah. Menurut Imam Abu Zahroh apabila dilihat dari perspektif ushul fiqih, kata yang berbentuk jamak dan diikuti dengan partikel “al” yang berfungsi mengkhusukan, maka kata tersebut tergolong ke dalam bentuk kata “umum”. Implikasinya adalah bahwa kata tersebut bersifat umum dalam pemaknaannya yang dengan sendirinya belum boleh dijadikan hujjah terhadap persoalan-persoalan yang bersifat khusus. Oleh karena itu perlu dicarikan dalil lain yang bisa difungsikan sebagai takhsis untuk mempertegas atau menjelaskannya.
Dengan demikian, kata al shadaqat yang terdapat dalam ayat 60 surat At Taubah harus difahami sebagai kata yang bersifat umum demikian juga pihak-pihak yang bisa menerimanya. Pertanyaan yang muncul dalam memahami kata tersebut adalah apakah pendistribusian zakat fitrah termasuk dalam kategori ayat tersebut?
Terkait dengan hal ini, ada dua pendapat yang berkembang. Pertama, bahwa distribusi zakat fitrah sama dengan distribusi zakat yang lain. Kelompok ini berpendapat bahwa oleh karena kata al shadaqat bersifat umum, maka hal itu mencakup semua bentuk zakat tak terkecuali zakat fitrah.[10] Para ulama yang tergabung dalam kelompok ini adalah para ulama’ dari kalangan Syafi’iyyah.
Kedua, bahwa zakat fitrah tidak bisa dikategorikan ke dalam ayat 60 surat At Taubah. Beberapa alasan yang dikemukakan oleh kelompok ini adalah:
a.      Keberadaan hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas
 فرض رسول الله  زكاة الفطر طهرة للصائم من اللهو و الرفث و طعمة للمساكين
 merupakan takhshish terhadap keberadaan ayat 60 surat at Taubah.
b.   Kewajiban yang dibebankan oleh zakat fitrah dan zakat yang lain berbeda. Dalam zakat seseorang baru diwajibkan mengeluarkan zakat atas hartanya apabila; 1) Islam, 2) merdeka, 3) harta tersebut merupakan harta miliknya secara penuh, 4) sudah mencapai satu nisab, dan 5) mencapai satu khaul (untuk barang-barang tertentu).[11] Ketentuan-ketentuan tersebut hanya bisa dipenuhi bagi orang-orang muslim yang dalam keadaan berkecukupan harta, sedangkan orang muslim yang miskin rasanya tidak mungkin bisa memenuhi ketentuan di atas. Jika demikian, maka orang muslim yang miskin tidak berkewajiban mengeluarkan zakat atas hartanya. Berbeda dengan hal itu, kewajiban zakat fitrah tidak didasarkan atas berapa banyak harta yang dimiliki, akan tetapi pada: 1) Islam, 2) mampu menjumpai malam iedul fitri,  dan 3) tersedia kelebihan makanan pada malam hari raya untuk dirinya atau keluarganya.[12] Apabila seorang muslim masih bisa menjumpai malam iedul fitri sedangkan dia mempunyai kelebihan makanan, maka yang bersangkutan berkewajiban mengeluarkan zakat fitrah. Bahkan bayi yang dilahirkan pada iedul fitri sekalipun, apabila orang tuanya mamiliki kelebihan makanan, maka wajib bagi dia mengeluarkan zakat fitrah atas bayinya. Tidak adanya perbedaan antara yang kaya dan miskin antara yang besar dan yang kecil dalam kewajiban membayar zakat fitrah sebagaimana dinyatakan dalam hadits Rasul yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah;
أدوا صدقة الفطر صاعا من قمح – أو قال بر-  عن كل إنسان صغير أو كبير, حر أو مملوك, غني أو فقير, ذكر أو أنثى

c.  Tujuan disyariatkannya zakat fitrah bebeda dengan yang zakat lain. Tujuan ibadah zakat fitrah adalah untuk mensucikan orang-orang yang berpuasa dari perkataan dan pernuatan yang tidak bermanfaat yang mereka lakukan pada saat berpuasa. Sementara itu tujuan ibadah zakat adalah membersihkan kotoran yang terdapat pada manusia.
Dari tiga argumentasi di atas, kelompok ini berketetapan bahwa perlakuan terhadap zakat fitrah tidak bisa disamakan dengan perlakuan terhadap zakat yang lain. Oleh karena zakat fitrah berbeda dengan zakat yang lain, maka pendistribusiannya juga berbeda. Zakat fitrah tidak bisa diberikan kepada selain fakir dan miskin. Kelompok ini juga berpendapat bahwa redaksi hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas secara tegas menyebut “tu’matun li al masakin” yang artinya makanan bagi orang-orang miskin. Hadits ini memberikan penegasan bahwa mereka yang berhak menerima distribusi zakat fitrah adalah fakir dan miskin dan bukan enam ashnaf (golongan) yang lain.
Yusuf Qardawi menyebut ada beberapa ulama yang tergabung dalam kelompok kedua yang menghususkan distribusi zakat hanya kepada fakir dan miskin. Mereka adalah Imam, Muhammad Ibnu Rusyd al Qurthubi, ulama’-ulama’ dari madzhab Malaki, Ahmad bin Hambal, Ibnu Taymiyyah, Ibnul Qoyyim al Jauziyah, Imam Hadi, Qashim dan Imam Abu Thalib. Sementara itu Wahbah Zuhaili menyebut bahwa ulama’-ulama dari madzhab Hanafi juga ada dalam barisan ini.[13]
Ibnu Rusyd berpendapat bahwa para ulama’ bersepakat bahwa zakat fitrah hanya diperuntukkan bagi kaum fakir dan miskin yang muslim. Senada dengan Ibnu Rusyd, Ibnul Qoyyim menyatakan:
“Beliau (Rasulullah) memberikan zakat fitrah ini secara khusus kepada orang-orang miskin dan tidak menyalurkannya kepada delapan kelompok secara merata serta tidak memerintahkannya. Tak seorang pun di antara para sahabat Nabi yang juga melakukannya[14]  
Zuhaili menjelaskan bahwa para ulama dari madzhab Hanafi telah bersepakat bahwa zakat fitrah hendaknya didistribusikan kepada fakir miskin yang muslim, terkecuali untuk kelurga bani Hasyim. Sebab  bani Hasyim adalah orang-orang yang mulia sehingga mereka tidak patut mendapatkannya.[15]
Sementara itu, Qardawi (1997:963) berpendapat bahwa menurut kesepakatan para ulama bahwa zakat fitrah hanya diperuntukkan kepada fakir miskin yang bergama Islam. Qardawi menambahkan bahwa dikhususkannya zakat fitrah untuk kaum fakir dan miskin muslim adalah sejalan dengan perintah Rasul agar umat Islam bisa mebantu saudara muslim lainnya yang sedang kekurangan pada hari raya.  Rasulullah s.a.w bersabda:  أغنو هم فى هذا اليوم
            “Cukupkanlah mereka (kaum fakir miskin) pada hari itu (iedul fitri)”[16]

G.    Waktu Pelaksanaannya

Zakat Fitrah adalah ibadah yang tidak bisa dilepaskan dengan rangkaian ibadah di bulan Ramadhan, sebab kewajiban berzakat fitrah hanya boleh dilakukan pada bulan Ramadhan. Dengan kata lain apabila zakat fitrah dilakukan di luar buan Ramadhan, bisa dipastikan bahwa status zakat fitrah yang dibayarkan menjadi tidak sah. Rasulullah dalam salah satu haditsnya yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas menjelaskan
من أداها قبل الصلاة فهي زكاة مقبولة, و من أداها بعد الصلاة فهي صدقة من الصدقات

Barangsiapa yang membayar zakat fitrah sebelum dia melaksanaan shalat iedul fitri, maka zakat fitrahnya diterima (dinyatakan sah), akan tetapi barangsiapa yang mengeluarkannya setelah melaksanakan shalat iedul fitri, maka zakat fitrahnya hanya dianggap sebagai sedekah biasa.

Kata “qabla al shalah” (sebelum shalat iedul fitri) dalam hadits di atas menimbulkan perbedaan pendapat di kalangan para ulama’. Ibnu Hazm melarang mendahulukan membayar zakat fitrah sebelum terbenamnya matahari di malam hari raya. Imam Malik dan Imam Hambali berpendapat bahwa boleh membayar zakat fitrah maksimal dua hari sebelum hari raya. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari bahwa para sahabat mengeluarkan zakat fitrah satu hari atau dua hari sebelum hari raya.
Sementara itu, Imam Syafi’i menyatakan bahwa boleh saja seseorang membayar zakat fitrah sejak awal Ramadhan. Sebab, kewajiban zakat fitrah adalah sangat terkait dengan kewajiban ibadah puasa, sehingga membayar zakat fitrah meskipun pada awal bulan adalah sesuatu yang diperbolehkan. Berbeda dengan ketiga pendapat Imam di atas, Imam Hanafi justru membolehkan pada awal tahun. Imam Hanafi menganalogkan hal ini dengan diperbolehkannya seseorang yang hendak membayar zakat pada awal tahun.[17]
Mengomentari pendapat-pendapat tersebut, Yusuf Qordowi berpendapat bahwa pendapat Imam Malik dan Imam Hambali adalah pendapat yang lebih hati-hati. Ia menambahkan bahwa boleh-boleh saja pemerintah memungut zakat ini dari masyarakat pada pertengahan bulan Ramadhan jika hal itu dimaksudkan untuk antisipasi tidak meratanya distribusi zakat fitrah kepada para mustahiq karena minimnya waktu yang ada.[18]


"






BAB III
KESIMPULAN

Dari beberapa hal yang dikemukakan di atas dapat disimpulkan bahwa zakat fitrah dan zakat pada umumnya memiliki perbedaan yang signifikan, yakni dalam  dasar penentuan kewajiban, waktu pelaksanaan, sasaran wajib zakat, maupun para mustahiqnya.

Dilihat dari aspek dasar penentuan kewajiban antara zakat fitrah dan zakat yang lain ada perbedaan yang sangat mendasar. Zakat fitrah merupakan kewajiban yang bersumber pada keberadaan pribadi-pribadi (badan), sementara zakat-zakat selain zakat fitrah adalah kewajiban yang diperuntukkan karena keberadaan harta.  Meskipun dalam hal pendistribusian zakat fitrah terdapat perbedaan pendapat, yakni antara yang memperbolehkan dibagikan kepada seluruh ashnaf yang delapan dan antara yang hanya memperbolehkan kepada fakir dan miskin, akan tetapi apabila dilihat dari maqashid al syari’ah atau berbagai pertimbangan logis disyariatkannya zakat fitrah, maka tampak bahwa yang paling mendekati ke arah sana adalah pendapat yang hanya mengkhususkan zakat fitrah kepada fakir dan miskin.







DAFTAR PUSTAKA

Qardawi, Yusuf. 1997. Hukum Zakat. Jakarta. Litera Antar Nusa.
Syuja’, Abu. T.th. Fath al Qarib. Surabaya. Hidayah.
Zuhaili, Wahbah. 1997. Fiqh al Islam wa adillatuh. Beirut. Dar al Fikr.
Al Jauziyyah, Ibn Qayyim. 1999. Zadul Ma’ad Bekal Menuju ke Akherat. Jakarta. Pustaka Azzam.
Aziz M Abdul. Azzam Dkk. Fiqih Ibadah (Thaharah, Sholat, puasa, Zakat dan Haji). Amzah, Jakarta, 2010
Drajat Zakiah., Ilmu Fiqih Jilid I, Dana Bakti Waqaf, Yogyakarta,1995.
Syarh An-Nawawi ‘ala Shahih Muslim IV
Al-Muhalla IV
Fiqh Az-Zakah II
At-TalkhisII
 Nashb Ar-Rayah II
Ad-din al-khalish, VII
Muntaqa Al-Akhbar dan Nail Al-Authar IV


[1] Prof. Dr. Zakiah Drajat., Ilmu Fiqih Jilid I, Dana Bakti Waqaf, Yogyakarta,1995. Hal.242
[2] Prof. Dr. Abdul Aziz M. Azzam Dkk. Fiqih Ibadah (Thaharah, Sholat, puasa, Zakat dan Haji). Amzah, Jakarta, 2010, hal.395
[3] HR. Abu Dawud, Ibnu Majjah, Ad-Daruqhutni dan Al-Hakim, dari jalur ikrimah dari Ibnu Abbas. Lanjutnya:
(مَنْ أَدَّاهَا قَبْلَ الصَّلَاةِ فَهِيَ زَكَاةٌ مَقْبُولَةٌ، وَمَنْ أَدَّاهَا بَعْدَ الصَّلَاةِ فَهِيَ صَدَقَةٌ مِنَ الصَّدَقَاتِ)  Barang siapa yang menunaikannya sebelum sholat(idul fitri), maka ia adalah zakat yang diterima, dan barang siapa yang menunaikannya setelah sholat, maka ia termasuk sedekah. Ia merupakan hak yang wajib atas setiap muslim, kecil maupun besar, laki-laki maupun perempuan. Lihat At-Talkhis II/83
[4] Ibid.,Fiqih Ibadah. Hal.396
[5] Ad-din al-khalish, VII/190
[6] Disebutkan dalam Muntaqa Al-Akhbar dan Nail Al-Authar IV/179
[7] Syarh An-Nawawi ‘ala Shahih Muslim IV/58 Al-Muhalla IV/119; Fiqh Az-Zakah II/918
[8] Versi lain diriwayatkan oleh Al-Baijhaqi dari riwayat Abu Ma’syar dari Nafi’ dan Ibnu Umar dengan redaksi:” Rasulullah saw. mewajibkan zakat fitrah, lalu bersabda,”Kayakanlah mereka pada hari ini.” Lihat At-TalkhisII/83, dan Nashb Ar-Rayah II/432.
[9] Prof. Dr. Abdul Aziz M. Azzam Dkk. Fiqih Ibadah (Thaharah, Sholat, puasa, Zakat dan Haji). Amzah, Jakarta, 2010, hal.397
[10] Wahbah Zuhaili,.. Fiqh al Islam wa adillatuh. Beirut. Dar al Fikr. 1997.hal, 1099

[11] Abu Syuja’,. T.th. Fath al Qarib. Surabaya. Hidayah. Hal. 90
[12] Ibid., Abu Syuja’ Fath al Qarib. Hal. 97
[13] Yusuf  Qardawi.. Hukum Zakat. Jakarta. Litera Antar Nusa.1997. hal 965
[14] Ibn Qayyim Al Jauziyyah,.. Zadul Ma’ad Bekal Menuju ke Akherat. Jakarta. Pustaka Azzam. 1999. Hal.74
[15] Ibid., Wahbah Zuhaili,.. Fiqh al Islam wa adillatuh. Hal.2048
[16] Ibid.,Yusuf Qardawi, Hukum Zakat hal.963
[17] Ibid.,Yusuf Qardawi, Hukum Zakat hal. hal 958
[18] Ibid.,Yusuf Qardawi, Hukum Zakat hal.994